Saturday 26 January 2013

Laporan CIIA: Densus 88 Tembak Korban di Teras Masjid Secara Vertikal

Komnas HAM Membela Siapa?


Oleh: Harits Abu Ulya


Pemerhati Kontra-Terorisme


Direktur The Community Of Ideological Islamic Analyst (CIIA)

Di setiap akhir tahun Komnas HAM biasanya mengeluarkan evaluasi terkait isu HAM. Dan salah satu institusi yang disorot adalah institusi penegak hukum (Polri). Khususnya terhadap Densus 88 dalam pandangan Komnas HAM diduga kuat banyak melakukan pelanggaran HAM sangat serius.


Dalam penanganan terhadap terduga terorisme banyak terjadi extra judicial killing (pembunuhan di luar prosedur pengadilan). Pertanyaannya, apakah Komnas HAM hanya cukup mengeluarkan evaluasi dan rekomendasi namun tidak melakukan advokasi lebih jauh?



Eksistensi Komnas HAM dibentuk dan dibiayai dengan uang rakyat (APBN), tapi fakta di lapangan Komnas HAM seperti benang basah di hadapan kezaliman-kezaliman yang mencolok mata, tidak bertaji.


Berangkat dari kasus bulan Januari 2013, sebanyak tujuh orang tewas di tangan Densus 88, baik di Makassar, Dompu dan Bima. Hal itu seharusnya sudah cukup menjadi pelajaran bagi Komnas HAM untuk bisa mengadvokasi pihak-pihak yang terzalimi dan terlanggar hak asasinya.



Masyarakat akan berharap kepada siapa di tengah sikap ambigu? Petinggi Polri terkesan mendiamkan Densus 88 yang di dalam aksinya sangat arogan, over acting dan menabrak norma-norma hukum. Hal itu seolah diaminkan karena dianggap legal dalam rangka perang melawan terorisme.


Begitu juga DPR (Komisi III) yang secara politis menyetujui anggaran operasional Densus 88 dan BNPT yang di lapangan justru digunakan untuk membunuh dan menzalimi rakyatnya atas nama "Perang Melawan Terorisme".



Kalau Komnas HAM serius dan eksistensinya benar-benar untuk menegakkan HAM seharusnya menempuh upaya maksimal menggali persoalan ini secara obyektif dan jujur.


Contoh, hasil dari penelusuran CIIA sebenarnya tidak sulit bagi Komnas HAM untuk memastikan apakah korban tewas di masjid Nurul Afiyah R.S. Wahidin Sudirohusodo, Makassar pada Jum'at, 4 Januari 2013 termasuk ekstra judicial killing atau tidak.



Mengingat pada saat kejadian tersebut banyak yang menyaksikan dan bisa dimintai keterangan sebagai saksi, dengan syarat Komnas HAM menjamin keselamatan jiwa dan raga para saksi. Bahkan Komnas HAM bisa melihat jejak-jejak di TKP atas kebrutalan Densus 88, bagaimana cara dua orang (Ahmad Kholil dan Syamsudin) di masjid Nurul Afiyah itu dieksekusi.


CIIA menemukan fakta; di lantai teras masjid Nurul Afiyah tempat salah satu korban dieksekusi ada enam lobang bekas tembakan. Artinya korban tewas selain dieksekusi dari arah horisontal juga dieksekusi dari arah vertikal; dari atas ke bawah saat korban tidak berdaya.



Saksi-saksi banyak menuturkan tidak ada perlawanan, amat berbeda sebagaimana diberitakan media yang mengambil sumber dari Polri semata.


Dan yang lebih parah lagi hak jenazah dan keluarga tidak terpenuhi terkait penanganan jenazah, karena lebih dari 22 hari jenazah belum juga dikembalikan pada keluarga. Kali ini kalau Komnas HAM hanya berhenti pada rekomendasi dan menjadikan kasus ini seperti lipstik (retorika belaka) maka Komnas HAM keberadaanya sama dengan ketiadaannya.



Justru rakyat dirugikan karena uang dihambur-hamburkan melalui keputusan politik DPR, sementara rakyat yang terzalimi malah diabaikan. Atau bahkan eksistensi Komnas HAM fungsinya hanyalah sekedar balancing (keseimbangan) dari kezaliman yang dilakukan oleh Densus 88 agar seolah-olah performances (wajah) penanganan kasus terorisme oleh pemerintah tidak nampak sarat dengan kepentingan asing.


Dengan membuka ruang pembelaan bagi para korban pelanggaran HAM khususnya kasus terorisme, Komnas HAM seperti "pelipur lara" umat Islam, tapi kejahatan tetap terus jalan. Dari kasus ini nantinya umat Islam akan melihat sesungguhnya Komnas HAM itu bekerja untuk siapa dan dengan kepentingan politik apa?

No comments:

Post a Comment