Tuesday 15 January 2013

Komnas HAM Nyatakan Densus 88 Melanggar HAM, Polri pun Berkilah

Ada pernyataan yang cukup mencengangkan dari Karopenmas, Brigjen Pol. Boy Rafli Amar saat merespon hasil evaluasi Komnas HAM. Ketika itu Komnas HAM mendesak pemerintah mengevaluasi kinerja Densus dalam operasi di Poso akhir-akhir ini. Komnas menilai Densus melakukan tindakan pelanggaran HAM dengan menggunakan kekerasan dan tidak menghargai HAM, baik terhadap masyarakat atau terduga teroris itu sendiri.


"Dalam penanganan tindak pidana terorisme, terdapat dugaan kuat penembakan mati secara tidak prosedural terhadap tersangka teroris serta kekerasan terhadap sejumlah korban salah tangkap," kata Ketua Tim Penanganan Tindak Terorisme Poso, Siane Indriani, dalam siaran pers seperti dikutip detik, Selasa (15/1/2013).


Polri pun berkilah dan balik menuding teroris pun melanggar HAM. "Kita menghormati hasil evaluasi tersebut, tapi teroris yang membunuh orang juga melanggar HAM," kata Karopenmas Polri Brigjen Pol Boy Rafli Amar, Selasa (15/1/2013).


Menanggapi hal tersebut, aktivis kemanusiaan, Dr. Joserizal Jurnalis, SpOT mengungkapkan bahwa pernyataan Boy Rafli Amar itu amat tidak tepat.


“Posisi Polri dengan teroris sangat jauh berbeda. Polri adalah alat negara yang bekerja dengan aturan negara. Fungsinya adalah penegak hukum bukan untuk berperang. Kalau menegakkan hukum tidak boleh melanggar hukum, bahkan dalam berperang pun ada aturannya seperti tidak boleh menyiksa tawanan, membunuh masyarakat sipil yang tidak bersenjata atau ikut perang. Jadi pendapat pak Boy Rafli Amar sangat tidak tepat,” kata Joserizal kepada voa-islam.com, Selasa (15/1/2013).


Ia pun mempertanyakan kinerja polisi dalam hal ini Densus 88 yang telah menembak mati seseorang namun tak tahu identitasnya.


“Persoalan berikutnya adalah apakah orang yang ditembak sampai terbunuh, benar-benar teroris atau tidak? Kenapa sampai timbul pertanyaan demikian? Karena polisi kadang tidak tahu identitas orang yang ditembak lalu dicari identitasnya dengan tracing DNA,” ujar pendiri MER-C (Medical Emergency Rescue Committee) ini.


Sebab menurut Joserizal, identitas orang yang ditembak boleh tidak diketahui jika di medan perang, namun hal ini berbeda dengan proses penegakkan hukum.


“Identitas orang yang ditembak boleh tidak diketahui kalau hal ini terjadi di medan perang dan berada dalam posisi musuh. Kalau dalam proses penegakkan hukum tidak boleh kecuali kalau nyawa petugas terancam. Posisi terancam inilah yang harus jelas dan jangan direkayasa,” jelasnya.

Joserizal pun meminta agar pemerintah segera mengevaluasi Densus 88, jangan sampai pemerintah Indonesia mendapat predikat sebagai penjahat kemanusiaan.[

No comments:

Post a Comment