Thursday 28 February 2013

MUI bawa video Pelanggaran HAM Densus 88 ke Mabes Polri

Sejumlah organisasi Islam di bawah naungan Majelis Ulama Islam (MUI) menemui Kapolri Jenderal Timur Pradopo untuk melaporkan dugaan pelanggaran HAM berat yang dilakukan anggota Detasemen Khusus Polri 88.

Wakil Ketua MUI, Din Syamsuddin, mengatakan dalam pertemuan yang berlangsung sekitar 1,5 jam itu, pihaknya menyerahkan rekaman video kekerasan terhadap teroris.

“Kami datang melaporkan ada bukti berupa video yang mengandung gambar tentang pemberantasan terorisme. Kami tidak tahu di mana dan kapan tetapi sangat jelas mengindikasikan pelanggaran HAM berat. Oleh karena itu kami minta ditindaklanjuti,” kata Din di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (28/2/2013) seperti dilansir Vivanews.

Din yang juga merupakan Ketua PP Muhammadiyah ini mengaku menerima kiriman video kekerasan itu satu minggu yang lalu. Ia pun tak tahu siapa yang mengiriminya. “Justru kami dikirimi dengan orang yang kami tidak kenal, dalam video itu kapan dan di mana tidak jelas,” kata dia.

Dalam video itu, Din menceritakan terdapat gambar penyiksaan terhadap orang yang disangka teroris. Rekaman itu menunjukkan sikap para anggota Densus 88 yang keji menindas teroris.

“Luar biasa penindasan itu, diikat kaki dan tangannya, ditembak, diinjak-injak. Dan ada yang bernada nuansa keagamaan ‘Anda kan mau mati beristighfar lah’. Itu ajaran agama mana? Mengajak orang istighfar tapi tak diselamatkan?” tuturnya.

Namun, menurutnya, yang paling penting dalam pertemuan itu Kapolri memberi respon positif. “Alhamdulillah bapak Kapolri memberikan respon positif terutama melakukan penindakan terhadap oknum-oknum Polri. Baik dari Densus 88 maupun Brimob untuk ditindak sesuai hukum yang berlaku.”

Over acting
MUI mendesak Kapolri Jendral Timur Pradopo untuk segera menindak anggotanya yang terlibat.

“Kami pesankan sekali pendekatan Densus 88 jangan over acting, apalagi melakukan pelanggaran HAM. Tidak mungkin penegak hukum dilakukan dengan melanggar hukum itu sendiri,” kata Din.

Menurut Din, MUI telah meminta Kapolri agar Densus 88 dalam melaksanakan tugasnya tidak melanggar HAM dan jangan menyentuh lambang-lambang serta simbol-simbol agama. Sebab, apabila ini terjadi maka akan kontraproduktif bagi umat Islam mayoritas yang sangat menentang terorisme.

“Kapolri segera akan menindak, karena di video itu ada gambar orang-orang yang saya kira mudah dikenali dan ditelusuri. Kapolri bahkan mengajak MUI dan ormas Islam untuk ikut mengawal, ini sebuah keterbukaan yang patut dihargai,” ujar dia.

Din berharap Kapolri dan berkomitmen tinggi dalam menindak para anggotanya. Dan yang paling penting, kata dia, kejadian ini jangan sampai terulang lagi.

Dia yakin, video kekerasan Densus 88 terhadap orang yang disangka teroris itu sudah banyak beredar. “Bahkan sudah banyak yang sampaikan kepada saya bahwa sudah sampai juga ke tangan DPR, Komnas HAM bahkan di media. Tapi bagi saya barang bukti tak terlalu penting, tapi bagaimana responnya Kapolri. Kami datang baik-baik, dan dapat perhatian sewajarnya,” ujarnya.

MUI bawa video Pelanggaran HAM Densus 88 ke Mabes Polri

Sejumlah organisasi Islam di bawah naungan Majelis Ulama Islam (MUI) menemui Kapolri Jenderal Timur Pradopo untuk melaporkan dugaan pelanggaran HAM berat yang dilakukan anggota Detasemen Khusus Polri 88.

Wakil Ketua MUI, Din Syamsuddin, mengatakan dalam pertemuan yang berlangsung sekitar 1,5 jam itu, pihaknya menyerahkan rekaman video kekerasan terhadap teroris.

“Kami datang melaporkan ada bukti berupa video yang mengandung gambar tentang pemberantasan terorisme. Kami tidak tahu di mana dan kapan tetapi sangat jelas mengindikasikan pelanggaran HAM berat. Oleh karena itu kami minta ditindaklanjuti,” kata Din di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (28/2/2013) seperti dilansir Vivanews.

Din yang juga merupakan Ketua PP Muhammadiyah ini mengaku menerima kiriman video kekerasan itu satu minggu yang lalu. Ia pun tak tahu siapa yang mengiriminya. “Justru kami dikirimi dengan orang yang kami tidak kenal, dalam video itu kapan dan di mana tidak jelas,” kata dia.

Dalam video itu, Din menceritakan terdapat gambar penyiksaan terhadap orang yang disangka teroris. Rekaman itu menunjukkan sikap para anggota Densus 88 yang keji menindas teroris.

“Luar biasa penindasan itu, diikat kaki dan tangannya, ditembak, diinjak-injak. Dan ada yang bernada nuansa keagamaan ‘Anda kan mau mati beristighfar lah’. Itu ajaran agama mana? Mengajak orang istighfar tapi tak diselamatkan?” tuturnya.

Namun, menurutnya, yang paling penting dalam pertemuan itu Kapolri memberi respon positif. “Alhamdulillah bapak Kapolri memberikan respon positif terutama melakukan penindakan terhadap oknum-oknum Polri. Baik dari Densus 88 maupun Brimob untuk ditindak sesuai hukum yang berlaku.”

Over acting
MUI mendesak Kapolri Jendral Timur Pradopo untuk segera menindak anggotanya yang terlibat.

“Kami pesankan sekali pendekatan Densus 88 jangan over acting, apalagi melakukan pelanggaran HAM. Tidak mungkin penegak hukum dilakukan dengan melanggar hukum itu sendiri,” kata Din.

Menurut Din, MUI telah meminta Kapolri agar Densus 88 dalam melaksanakan tugasnya tidak melanggar HAM dan jangan menyentuh lambang-lambang serta simbol-simbol agama. Sebab, apabila ini terjadi maka akan kontraproduktif bagi umat Islam mayoritas yang sangat menentang terorisme.

“Kapolri segera akan menindak, karena di video itu ada gambar orang-orang yang saya kira mudah dikenali dan ditelusuri. Kapolri bahkan mengajak MUI dan ormas Islam untuk ikut mengawal, ini sebuah keterbukaan yang patut dihargai,” ujar dia.

Din berharap Kapolri dan berkomitmen tinggi dalam menindak para anggotanya. Dan yang paling penting, kata dia, kejadian ini jangan sampai terulang lagi.

Dia yakin, video kekerasan Densus 88 terhadap orang yang disangka teroris itu sudah banyak beredar. “Bahkan sudah banyak yang sampaikan kepada saya bahwa sudah sampai juga ke tangan DPR, Komnas HAM bahkan di media. Tapi bagi saya barang bukti tak terlalu penting, tapi bagaimana responnya Kapolri. Kami datang baik-baik, dan dapat perhatian sewajarnya,” ujarnya.

Makanan Haram Bikin Ibadah Tak Diterima dan Doa TakTerkabul

Al-Hamdulillah, puja dan puji milik Allah Subhanahu wa Ta'ala. Shalawat dan salam teruntuk hamba dan utusan-Nya, Nabi Muhammad –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.

Kenapa umat Islam sangat memperhatikan urusan halal-haram dalam apa yang dikonsumsinya dari makanan dan minuman? Karena makanan yang halal menjadi salah satu syarat diterimanya amal ibadah dan dikabulkannya doa. Sebaliknya, sesuatu yang haram menyebabkan tidak diterimanya amal dan dikabulkannya doa. Padahal setiap muslim yakin, ia diciptakan untuk ibadah. Dan keselamatan dan kebahagiaan di akhirat melalui ibadah dan amal shalihnya. Sehingga setiap yang menghalangi dari diterimanya ibadah akan sangat-sangat ia perhatikan dan tinggalkan.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ ( يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّى بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ) وَقَالَ (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ) ». ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ

"Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu thoyyib (baik). Allah tidak akan menerima sesuatu melainkan dari yang thoyyib (baik). Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin sebagaimana yang diperintahkan-Nya kepada para Rasul. Firman-Nya: 'Wahai para Rasul! Makanlah makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.' Dan Allah juga berfirman: 'Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah rezeki yang baik-baik yang telah kami rezekikan kepadamu.'" Kemudian Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam menceritakan tentang seorang laki-laki yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya kusut, masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdo'a: "Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku." Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan dikenyangkan dari yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan do'anya?" (HR. Muslim)

Hadits di atas menjadi bukti nyata bahwa suatu amal tidak akan diterima kecuali dengan makan yang halal. Karenanya Allah dahulukan perintah untuk makan yang halal atas beramal shalih. Karena sia-sia amal yang dikerjakan jika tenaga yang dihasilkan dari makanan dan minuman yang haram. Berarti, makanan haram itu merusak amal shalih dan menghalangi dari diterima.

Ibnu Daqiq berkata dalam syarah hadits di atas, " . . . Dan bahwa makanan lezat yang tidak mubah akan menjadi bencana atas pemakannya serta amalnya tidak diterima oleh Allah."

Dalam hadits di atas hanya disebutkan doa sebagai contohnya, karena doa adalah inti dari semua amal shalih dan ibadah. Jika doa sebagai permintaan tidak dikabulkan maka ibadah yang di dalamnya terkandung pemohonan (agar diterima dan diberi pahala) juga tidak akan diterima dan tidak diberi pahala.

Hal ini seperti yang dikatakan Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma,

مَنْ اشْتَرَى ثَوْبًا بِعَشَرَةِ دَرَاهِمَ وَفِيهِ دِرْهَمٌ حَرَامٌ لَمْ يَقْبَلْ اللَّهُ لَهُ صَلَاةً مَادَامَ عَلَيْهِ

"Siapa membeli pakaian dengan 10 dirham, satu dirham di antaranya adalah uang haram maka Allah tidak akan menerima shalatnya selama pakaian itu dikenakannya."

Maksud dari tidak diterima adalah tidak diberi pahala dan ganjaran di akhirat kelak. Sedangkan gugurnya kewajiban atas dirinya telah terpenuhi, jika ia telah menunaikan ibadah tersebut dengan syarat dan rukunnya. Terdapat perbedaan antara hukum dunia dan akhirat, sebagaimana keadaan shalatnya orang yang pergi ke dukun yang tidak akan diterima selama empat puluh hari, tapi kewajiban shalat telah gugur darinya. Dari sini para ulama salaf sangat takut dengan ayat, "Sesungguhnya Allah hanya akan menerima dari orang-orang bertakwa." (QS. Al-Maidah: 27), mereka sangat takut tidak termasuk orang-orang bertakwa yang amal mereka diterima.

Ringkasnya, ada hubungan erat antara diterima ibadah dengan status makanan yang dikonsumsi. Makanan haram sebabkan ibadah seorang muslim tak diterima dan doanya tak dikabul. Karena itu, kejelasan status makanan dan minuman menjadi satu kebutuhan.Wallahu Ta'ala A'lam.

MUI dan Ormas Islam Sepakat Densus 88 Harus Dibubarkan!

Bersamaan dengan pelaporan video yang merupakan bukti adanya indikasi pelanggaran HAM berat yang dilakukan Densus 88, Ketua PP Muhammadiyah Dr. Din Syamsudin bersama MUI dan pimpinan ormas-ormas Islam ternyata telah sepakat meminta Densus 88 dievaluasai, bahkan jika perlu dibubarkan.


“Kalau dari kami, ormas-ormas Islam, MUI kita sepakat saya kira Densus 88 itu harus dievaluasi, bila perlu dibubarkan. Tapi diganti dengan sebuah lembaga dengan pendekatan baru untuk bersama-sama untuk memberantas terorisme,” kata Din Syamsudin kepada wartawan di Mabes Polri, Kamis (28/2/2012).

...Kalau dari kami ormas-ormas Islam, MUI kita sepakat saya kira Densus 88 itu harus dievaluasi, bila perlu dibubarkan.


Ia juga menyayangkan bahwa selama ini pemberantasan terorisme selalu dikaitkan dengan agama dan menjadi stigmatisasi terhadap Islam.


“Yang paling menjadi konsen kami, ulama dan zu'ama Islam ini bahwa pemberantasan terorisme ini dikaitkan dengan agama, ini adalah stigmatisasi terhadap Islam. Ketika terjadi stigmatisasi terhadap Islam, ibaratnya bangunan dakwah yang kami bangun itu roboh karena ada pengaitan,” ujarnya.

...Yang paling menjadi konsen kami, ulama dan zu'ama Islam ini bahwa pemberantasan terorisme ini dikaitkan dengan agama


Din Syamsudin juga mengkritik media yang selama ini turut mengopinikan pengaitan kasus terorisme terhadap Islam.


“Mohon maaf termasuk mungkin oleh media. Ini kerugian besar bagi umat Islam, bagi dakwah Islamiyah yang tidak bisa kita bayar,” ungkapnya.

...Ini kerugian besar bagi umat Islam, bagi dakwah Islamiyah yang tidak bisa kita bayar


Sementara di sisi lain kasus penembakan terhadap aparat TNI di Papua justru tidak mendapat reaksi keras aparat kepolisian, padahal menurut Din kasus kejahatannya juga bisa disebut terorisme.


“Itu yang kami maksud tadi kenapa terhadap itu kurang keras, itu juga teroris. Yang terjadi sekarang ini juga, bahkan itu kepada aparat negara menjadi korban,” tuturnya.


Selain melaporkan pelanggaran HAM yang dilakukan Densus 88 kepada Kapolri, Din Syamsudin juga meminta DPR RI mengevaluasi Undang-Undang Pemberantasan Terorisme. “Itu juga. Maka kita serahkan kepada kawan-kawan DPR,” tutupnya.

Wednesday 27 February 2013

Pergantian Jabatan tak Penting Selama BNPT Masih Anggap Muslim Teroris

Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT) kembali merotasi para pimpinannya. Deputi Penindakan dan Pembinaan Kemampuan di BNPT yang sebelumnya ditempati Irjen Tito Karnavian kini resmi berganti. Tito yang sekarang menjabat sebagai Kapolda Papua, digantikan oleh Brigjen Arief Dharmawan SH MM.


Surat pengangkatan Arief sebagai Deputi Penindakan BNPT sudah keluar sejak 25 Januari lalu. ”Pelantikannya direncanakan Rabu (27/02) oleh Bapak Menkopolhukam,” ujar sumber BNPT seperti dikutip Jawa Pos, Selasa (26/02/2013).


Rencananya, Arief dilantik berdasar Surat Keputusan Presiden nomer 15/M tahun 2013 tertanggal 25 Januari 2013. Sebelumnya, Arief menjabat sebagai Direktur Kerjasama Bilateral di BNPT.


Menkopolhukam Djoko Suyanto diagendakan melantik Arief di kantornya, jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat. Namun Irjen Tito Karnavian yang sekarang sudah aktif sebagai Kapolda Papua, dijadwalkan tak bisa menghadiri pelantikan itu karena sedang fokus dengan kasus penyerangan delapan prajurit TNI di Puncak Jaya, Papua.


Brigjen Arief sebelum di BNPT pernah bertugas di Pusinafis Bareskrim Polri. Alumnus Lemhanas angkatan 43 ini juga pernah menjabat sebagai Kanit Ekonomi Khusus Bareskrim Polri. Dengan jabatan barunya, Brigjen Arief akan promosi menjadi bintang dua.


Menanggapi pergantian Deputi Penindakan dan Pembinaan Kemampuan di BNPT tersebut, Direktur JAT Media Center (JMC), ustadz Son Hadi menyatakan pergantian tersebut tidaklah penting selama paradigma BNPT masih menganggap bahwa yang disebut teroris adalah Muslim yang ingin menerapkan syariat Islam.


“Pergantian personal dalam sebuah organisasi hanyalah sebuah mutasi rutin untuk dinamika sebuah organisas dalam menjalankan visi dan misinya. Pergantian dari Tito Karnavian ke Arief Dharmawan tidaklah penting selama BNPT masih memiliki paradigma bahwa teroris itu ialah Muslim yang ingin menerapkan syariat Islam dan ingin memperjuangkan daulah atau khilafah sebagaimana yang ada pada mindset BNPT dalam memaknai terorisme,” ujar ustadz Son Hadi, kepada voa-islam.com, Selasa (26/2/2013).


Untuk itu, ia menyampaikan pergantian jabatan tersebut akan lebih bermakna, jika BNPT juga berubah untuk tidak lagi memusuhi umat Islam.


“Sebagai Deputi Penindakan dan Pembinaan Kemampuan BNPT yang baru, Brigjen Pol. Arief Dharmawan harus bisa membuktikan bahwa BNPT tidak memusuhi Islam dan umat Islam,” tutupnya.

Tuesday 26 February 2013

Hukum bekerja di leasing

Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh.

Segala puji bagi Allah Ta’ala, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kita harus mengetahui lebih dahulu apa yang dimaksud dengan perusahaan-perusahaan perkreditan; apakah yang dimaksud adalah penjualan secara kredit atau apa? Jika yang dimaksud adalah penjualan dengan kredit, maka penjualan secara tangguh adalah dibolehkan berdasarkan makna zhahir Al-Qur’an dan dalil yang jelas dari As-Sunnah.

Mengenai hal itu, dalam Al-Qur’an Allah berfirman, “Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya…” hingga firman-Nya, artinya “…dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya…” (QS. al-Baqarah: 282)

Hal tersebut, yakni penjualan secara tangguh (kredit) adalah boleh hukumnya berdasarkan dalil yang bersumber dari as-Sunnah yang jelas sekali, sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus kepada seorang laki-laki yang telah mempersembahkan kepada beliau pakaian dari Syam agar menjualnya dengan dua buah baju kepada Maisarah (budak Khadijah, isteri belaiu, -pent) [HR. at-Tirmidzi, Kitab al-Buyu (1213), An-Nasai, Kitab al-Buyu (VII : 294), Ahmad (VI : 147)]

Dalam kitab Ash-Shahihain dan selain keduanya dari hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah datang ke Madinah sementara mereka biasa melakukan jual beli secara salam (memberikan uang di muka namun barangnya belum bisa diambil/memesan) terhadap kurma setahun atau dua tahun, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa memesan kurma, maka hendaklah dia memesan dalam takaran (Kayl) yang sudah diketahui, dan wazan (timbangan) yang sudah diketahui hingga batas waktu yang sudah diketahui.” [HR al-Bukhari, Kitab as-Salam (2239-2241), Muslim, Kitab al-Musaqah (1604)]

Adapun jika yang dimaksudkan adalah jual beli sistim kredit yang berlaku pada perusahaan-perusahan Leasing atau pembiayaan yang berasal dari Bank sebagaimana yang dipraktekkan di banyak dealer atau showroom serta dapat kita temui pada praktek yang serupa pada beberapa KPR, maka sistim jual beli yang demikian hukumnya dipermasalahkan, karena beberapa alasan:

1. Sistim yang berlaku di dalamnya termasuk sistim jual beli barang yang belum selesai diserahterimakan [belum menjadi milik Leasing/Bank]
2. Pada Leasing terjadi dua akad yang berbeda dalam satu aktivitas muamalah, yaitu akad sewa dan akad jual beli.
3. Mengandung unsur Riba. Yaitu pada saat pembeli terlambat melakukan pembayaran sesuai dengan waktunya, maka nilai jual barang akan bertambah (berbunga) sesuai dengan waktu keterlambatannya.

Berdasarkan beberapa alasan di atas, maka sistim jula beli seperti ini hukumnya haram. Alasan-alasan tersebut merupakan kesimpulan dari dalil-dalil yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih serta atsar shahabat, diantaranya:

1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Aku berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya sama dengan bahan makanan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

2. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa membeli bahan makanan, maka janganlah dia menjualnya hingga menyempurnakannya dan selesai menerimanya.” (HR. Muslim)

3. Ibnu ‘Umar mengatakan, “Kami biasa membeli bahan makanan dari orang yang berkendaraan tanpa diketahui ukurannya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami menjual barang tersebut sampai barang tersebut dipindahkan dari tempatnya.” (HR. Muslim).

Dalam riwayat lain, Ibnu ‘Umar juga mengatakan, “Kami dahulu di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan. Lalu seseorang diutus pada kami. Dia disuruh untuk memindahkan bahan makanan yang sudah dibeli tadi ke tempat yang lain, sebelum kami menjualnya kembali.” (HR. Muslim)

4. “Rasulullah melarang (kaum muslimin) dua akad dalam suatu proses akad tertentu.” (HR. Ahmad)

5. Pada asalnya dalam hutang piutang, tidak diperbolehkan sama sekali bagi siapa pun untuk mencari keuntungan. Dan keuntungan yang diperoleh dari hasil hutang piutang seperti ini disebut riba. Dalam sebuah hadits disebutkan, Dari sahabat ‘Ubadah bin ash-Shamit radhiallahu ‘anhu, ia menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang penjualan emas dengan emas, baik berupa batangan atau berupa mata uang dinar melainkan dengan cara sama timbangannya, dan perak dengan perak, baik berupa batangan atau telah menjadi mata uang dirham melainkan dengan cara sama timbangannya. Dan beliau juga menyebutkan perihal penjualan gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam dengan cara takarannya sama. Barangsiapa yang menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba.” (HR. an-Nasa’i, ath-Thahawi, ad-Daraquthni, dan al-Baihaqi).

Perlu diketahui bahwa perbuatan menarik riba adalah perbuatan yang diharamkan dan suatu bentuk kezhaliman. Kezhaliman meniadakan keadilan yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan. Allah Ta’ala berfirman, artinya “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. al-Baqarah: 279)

Dalam sebuah hadits disebutkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan riba, pencatat riba dan dua orang saksinya.” Beliau mengatakan, “Mereka semua itu sama.” (HR. Muslim)

Dalam hadits yang lain beliau bersabda, “Allah melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberi makan dengan riba, dua orang saksinya dan penulisnya.” (Muttafaq ‘alaih)

Setelah kita mengetahui hukum jual beli yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan Leasing atau pembiayaan yang dilakukan oleh Bank yang bertransaksi dengan riba, maka dapat diambil kesimpulan hukum bekerja di perusahaan-perusahaan tersebut secara jelas sebagaimana yang telah difatwakan oleh para Ulama diantaranya:

1. Pertanyaan:

Apa hukum bekerja di bank-bank ribawi dan transaksi yang ada di dalamnya?

Jawaban:

Bekerja di sana diharamkan karena dua alasan saja; Pertama, membantu melakukan riba.

Bila demikian, maka ia masuk ke dalam laknat yang telah diarahkan kepada individunya langsung sebagaimana telah terdapat hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya beliau telah melaknat pemakan riba, pemberi makan dengannya, penulisnya dan kedua saksinya. Beliau mengatakan, “Mereka itu sama saja.”

Kedua, bila tidak membantu, berarti setuju dengan perbuatan itu dan mengakuinya.

Oleh karena itu, tidak boleh hukumnya bekerja di bank-bank yang bertransaksi dengan riba. Sedangkan menyimpan uang di sana karena suatu kebutuhan, maka tidak apa-apa bila kita belum mendapatkan tempat yang aman selain bank-bank seperti itu. Hal itu tidak apa-apa dengan satu syarat, yaitu seseorang tidak mengambil riba darinya sebab mengambilnya adalah haram hukumnya. [Fatawa Syaikh Ibn Utsaimin, Juz.II]

2. Pertanyaan:

Sepupu saya bekerja sebagai pegawai bank, apakah boleh hukumnya dia bekerja di sana atau tidak? Tolong berikan kami fatwa tentang hal itu -semoga Allah membalas kebaikan anda- mengingat, kami telah mendengar dari sebagian saudara-saudara kami bahwa bekerja di bank tidak boleh.

Jawaban:

Tidak boleh hukumnya bekerja di bank ribawi sebab bekerja di dalamnya masuk ke dalam kategori bertolong-menolong di dalam berbuat dosa dan melakukan pelanggaran. Sementara Allah ta’ala telah berfirman (artinya): “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Sesungguhnya Allah amat pedih siksaan-Nya”. (QS. al-Ma’idah:2).

Sebagaimana dimaklumi, bahwa riba termasuk dosa besar, sehingga karenanya tidak boleh bertolong-menolong dengan pelakunya. Sebab, terdapat hadits yang shahih bahwa Rasulullah telah melaknat pemakan riba, pemberi makan dengannya, penulisnya dan kedua saksinya. Beliau mengatakan, “Mereka itu sama saja.” [Kitabud Da'wah, Jld.I, Hal.142-143, dari fatwa Syaikh Ibn Baz]

3. Pertanyaan:

Apakah gaji-gaji yang diterima oleh para pegawai bank-bank secara umum, dan ‘Arabic Bank’ secara khusus halal atau haram? Mengingat, saya telah mendengar bahwa ia haram hukumnya karena semua bank tersebut bertransaksi dengan riba pada sebagian operasionalnya. Saya mohon diberikan penjelasan sebab saya ingin bekerja di salah satu bank-bank tersebut.

Jawaban:

Tidak boleh bekerja di bank-bank yang bertransaksi dengan riba karena hal itu berarti membantu mereka di dalam melakukan dosa dan عدوان (pelanggaran). Sementara Allah telah berfirman, artinya “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. al-Ma’idah:2).

Dan terdapat pula hadits Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara shahih bahwasanya:

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤَكِّلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

“Rasulullah telah melaknat pemakan riba, pemberi makan dengannya, penulisnya dan kedua saksinya. Beliau mengatakan, “Mereka itu sama saja.” [Kitabut Da'wah, Juz. I, Hal.142, dari fatwa Syaikh Ibn Baz ]

Berdasarkan argumentasi-argumentasi di atas, maka bekerja di tempat-tempat Leasing, maka hukumnya sama dengan bekerja di Bank yang bertransaksi dengan riba, karena keduanya menyelenggarakan praktek jual beli atau pinjam meminjam yang mengandung unsur riba di dalamnya dan menggunakan sistim jual beli yang terlarang.

Maka seyogyanya setiap Muslim berusaha semaksimal mungkin mencari peluang-peuang pekerjaan yang jelas-jelas halal dan terhindar dari prakek-praktek yang diharamkan. Sehingga rizki yang didapatkan termasuk rizki yang halal dan berkah. Amin.

Demikian, jawaban yang dapat kami sampaikan. Semoga bermanfa’at. Wallaahu a’lam.

Wassalamu’alaikum wa Rahmatullaahi wa Barakaatuh.

Rujukan:
1. Kitab al-Fatawa asy-Syar’iyyah fi al-Masa’il al-Ashriyah min Fatawa Ulama al-Balad al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid al-Juraisiy, Penerbit Darul Haq Jakarta.
2. Situs: www.pengusahamuslim.com

Hukum Bekerja Pada Perusahaan Finance

Assalamu‘alaikum Ustadz, saya mau tanya
bagaimana hukumnya bekerja di perusahaan
finance seperti adira, dll.
Anisa, Jakarta

Sobat Anisa yang dimuliakan Allah SWT, para ulama berpendapat bahwa bekerja pada perusahaan yang melakukan transaksi ribawi seperti bank konvensional dan perusahaan-perusahaan keuangan lainnya dilarang (lihat pendapat: Syaikh bin Baz dalam Kitab Dakwah (1/142-143), Syaikh Muhammad bin al-Utsaimin dari fatwa-fatwanya yang dikumpulkan oleh Asyraf bin Abdul Maqshud (2/307), Fatawa Lajnah Daimah Untuk Riset Ilmu
dan Fatwa (15/51)), karena bekerja di tempat itu termasuk tolong menolong di atas dosa dan pelanggaran, dan Allah SWT berfirman: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaNya” (QS. al-Maidah: 2).

Dan sudah jelas bahwa riba termasuk dosa besar maka tidak boleh tolong menolong bersama pelakunya. Dan diriwayatkan dalam hadits shahih dari Rasulullah SAW bahwa beliau mengutuk orang yang memakan riba, yang memberikannya, penulisnya, dan kedua
saksinya dan beliau bersabda: ‘Mereka adalah sama” (HR. Muslim).

Meskipun demikian Dr.Yusuf Al-Qaradawi dalam fatwa-fatwa kontemporernya ketika membahas masalah hukum bekerja di bank konvensional beliau mengatakan dengan pertimbangan bahwa tidak semua bentuk transaksi pada bank konvensional itu haram, maka tidak mengapalah seorang muslim menerima pekerjaan tersebut –meskipun hatinya tidak rela– dengan harapan tata perekonomian akan mengalami perubahan menuju kondisi yang diridhai agama. Memang benar bahwa riba itu haram dan ulama telah sepakat bahwa bunga bank adalah riba yang diharamkan.

Ayat dan hadits tentang itu sudah cukup banyak dan semua sepakat tentang hal itu. Namun, yang kita butuhkan adalah sebuah proses. Dalam hal ini Islam tidak melarang umatnya untuk melakukan perubahan secara bertahap dalam memecahkan setiap permasalahan yang pelik. Cara ini pernah ditempuh Islam ketika mulai mengharamkan khamar, dan lainnya.

Dalam hal ini yang terpenting adalah tekad dan kemauan bersama, apabila tekad itu telah bulat maka jalan pun akan terbuka lebar. Setiap muslim yang mempunyai kepedulian akan hal ini hendaklah bekerja dengan hatinya, lisannya, dan segenap kemampuannya melalui berbagai wasilah (sarana) yang tepat untuk mengembangkan sistem perekonomian yang sesuai dengan ajaran Islam.

Di sisi lain, Islam melarang seseorang melupakan kebutuhan hidup yang oleh para fuqaha diistilahkan telah mencapai tingkatan darurat. Kondisi inilah yang mengharuskan seseorang untuk menerima pekerjaan tersebut sebagai sarana mencari penghidupan dan rezeki, sebagaimana firman Allah SWT: “…Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al Baqarah: 173}.

Memang sebaiknya Sobat yang budiman, bila di depan mata ada lowongan pekerjaan lain yang halal dan pasti, maka wajiblah baginya untuk berhenti dari bank konvensional atau perusahaan keuangan lainnya yang mempraktekkan transaksi ribawi. Tapi bila setelah berhenti, keluarganya malah terlantar, tentu ini adalah madharat. Begitu juga dengan ikut menyukseskan perusahaan ribawi adalah madharat. Dalam konteks ada dua madharat yang sama sekali tidak bisa dihindarkan, maka kita diminta untuk memilih yang madharatnya lebih kecil.

Monday 25 February 2013

Pernah Bermaksiat, Apakah Pernikahan Diberkahi?

Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah atas Rasulillah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.

Ada seseorang memiliki masa lalu yang kelam. Banyak dosa dan kemaksiatan yang telah ia lakukan, bahkan di antaranya dosa besar. Namun –Alhamdulillah- sekarang ia sudah taubat dan menikah. Hanya saja ia diliputi rasa takut, apakah pernikahannya akan diberkahi? Apakah ia akan dihukum di dunia ini akibat dosa-dosanya di antaranya dalam kehidupan berkeluarga sekarang?

Seseorang yang telah terjerumus ke dalam perbuatan dosa lalu sadar akan kesalahannya dan besarnya dosa yang telah diperbuat, ia tidak boleh berputus asa dari rahmat dan ampunan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah akan mengampuni dosanya dan tidak akan menghukumnya dengan dosa-dosanya terdahulu sesudah bertaubat.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعاً إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

"Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Zumar: 53)

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

اَلتَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَهُ

"Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak berdosa." (HR. Ibnu Majah dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani)

Bahkan terkadang, kondisi seseorang pasca berbuat dosa yang diikuti taubat itu lebih baik daripada saat ia sebelum berbuat dosa, sebagaimana keadaan Bapak kita, Nabi Adam 'Alaihis Salam.

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan tentang perbedaan kondisi Nabi Adam 'Alaihis Salam sebelum beliau melakukan kesalahan dan sesudahnya. Dikatakan kepada beliau saat masih berada di surga:

إِنَّ لَكَ أَلَّا تَجُوعَ فِيهَا وَلَا تَعْرَى وَأَنَّكَ لَا تَظْمَأُ فِيهَا وَلَا تَضْحَى

"Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang. Dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya." (QS. Thaahaa: 118-119)

Firman Allah yang lain,

ثُمَّ اجْتَبَاهُ رَبُّهُ فَتَابَ عَلَيْهِ وَهَدَى

"Kemudian Tuhannya memilihnya maka Dia menerima tobatnya dan memberinya petunjuk." (QS. Thaahaa: 122)

Kemudian beliau (Ibnul Qayyim) mengomentari perbadaan keduanya, bahwa kondisi pertama berkaitan dengan makan, minum, dan menikmati hidup. Sedangkan kondisi yang kedua beliau menjadi hamba pilihan Allah dan mendapat hidayah. "Betapa jauhnya perbedaan keduanya," selesai keterangan beliau.

Maka janganlah ia terlalu khawatir, karena siapa yang bertaubat dari dosa dan kembali kepada Allah dengan menjalankan ketaatan serta mengisi sisa umur dengan kebaikan sicaya sisa umurnya akan diberkahi. Siapa yang telah bertaubat maka dia tidak akan dihukum dengan dosanya. Semua ini merupakan bagian dari luasnya karunia Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bahkan lebih dari itu, dengan kemurahan-Nya, Allah akan mengganti keburukan di masa lampau dengan kebaikan.

Allah Ta'ala berfirman setelah menyebutkan beberapa dosa besar, yakni: syirik, membunuh, dan berzina:

إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

"Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Furqan: 70)

Dari Abu Farwah rahimahullah, dia mendatangi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan berkata: "(Ya Rasulullah!) bagaimana menurutmu, jika ada seseorang yang mengerjakan semua perbuatan dosa dan tidak meninggalkan satu perbuatan dosa pun serta tiada keinginan untuk berbuat dosa kecuali ia lakukan. Apakah ada taubat baginya untuk semua itu?"

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bertanya: "Apakah kamu sudah masuk Islam?"

Ia menjawab, "Adapun saya bersaksi tiada sesembahan yang hak kecuali Allah dan bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah."

Beliau bersabda: "Berbuat baiklah dan tinggalkan perbuatan buruk, maka Allah akan menjadikan semua perbuatan buruk itu sebagai kebaikan bagimu." Ia berkata: "penghianatan dan kejahatanku?" Beliau menjawab: "ya." Ia terus menerus bertakbir hingga tidak terlihat lagi." (HR. Thabrani)

Ringkasnya, dengan taubat yang telah dilakukan maka kemaksiatan-kemaksiatan yang dahulu pernah dikerjakannya tidak akan menghalangi keberkahan dalam keluarga yang dibina. Sungguh rahmat dan ampunan Allah sangat luas, maka janganlah berputus asa. Wallahu Ta'ala A'lam.

Saturday 23 February 2013

Khurafat "Mayoritas" dalam demokrasi

Ada khurafat yang selama ini diyakini oleh sebagian besar masyarakat yaitu sistem suara mayoritas di dalam Demokrasi yang diklaim sebagai kehendak rakyat secara umum.

Khurafat sendiri mempunyai makna cerita- cerita rekaan yang mempesona, khayalan, dongeng, pemujaan, dan keyakinan tertentu yang menyimpang dari Islam.

Khurafat “Sistem mayoritas” inilah yang terus disuntikkan kepada masyarakat agar mereka meyakini jika Demokrasi merupakan sistem terbaik yang mewakili kehendak masyarakat secara umum.

Dalam artikel singkat ini, Syaikh Ali Belhaj seorang tokoh FIS AlJazair menyingkap klaim palsu tersebut dan sikap Islam terhadap demokrasi.

Khurafat Demokrasi

Secara faktual telah diketahui, rakyat sebuah bangsa tidak mungkin memerintah sendiri, tetapi memerintah melalui para wakilnya yang terwujud dalam mayoritas anggota majelis perwakilan yang telah mereka pilih.

Maka, berubahlah kehendak mayoritas (rakyat pada umumnya) menjadi kehendak minoritas (kehendak wakil rakyat). Saat itulah muncul kesewenang-wenangan/kediktatoran baru, karena kehendak rakyat beralih ke tangan orang-orang yang mereka pilih saja. Sehingga rakyat tidak mampu untuk membatalkan, menghapus, ataupun mengubah keputusan yang telah ditetapkan oleh para wakilnya.

Menurut banyak pakar politik, prinsip mayoritas adalah teori yang paling berbahaya terhadap berlangsungnya kebebasan individu, karena setiap perbuatan yang muncul dari orang yang terpilih dapat menjadi hukum sekaligus undang-undang hanya karena ia merupakan kehendak rakyat. Dari sini kita bisa melihat bahwa mayoritas pendapat yang ada telah berubah menjadi kesewenang-wenangan minoritas, dan fakta telah membuktikan hal itu. Oleh karena itu, seharusnyalah umat Islam menjadi umat yang bersandar pada dalil syar’i, bukan pada suara mayoritas.

Demokrasi Adalah Pemerintahan Minoritas, Bukan Pemerintahan Mayoritas Seperti yang Digembar-gemborkan

Kita menolak demokrasi, berbeda dengan orang kafir, berdasarkan qa’idah syar’iyah yang telah diadopsi oleh jumhur muslimin untuk berbeda dengan orang Yahudi dan Nashrani. Adapun dalil-dalil syar’i yang mengesahkan qa’idah ini begitu masyhur untuk disebutkan dan terlalu banyak untuk dibatasi. Salah satunya adalah firman Allah SWT :

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS Al-Jatsiyah [45] : 18)

Imam Ibnu Taymiyah telah menjelaskan maksud ayat tersebut secara baik di dalam kitabnya Iqthidha` Ash-Shirat Al-Mustaqim fi Mukhalafati Ash-hab Al-Jahim halaman 8 :

“Kemudian Allah menjadikan Rasulullah SAW berada di atas syariat-Nya dari agama itu yang telah ditetapkan-Nya bagi beliau dan Allah memerintahkan beliau agar mengikuti syariat tersebut sekaligus melarang beliau untuk mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Pada saat itu Rasulullah tinggal bersama orang-orang yang tidak mengetahui, yaitu setiap orang yang selalu menyalahi syariat beliau beliau. Hawa nafsu mereka adalah apa-apa yang mereka sukai. Penampakan dari perilaku musyrikin tersebut muncul karena mereka mengikuti agama mereka yang batil dan ajaran-ajaran lainnya. Akhirnya mereka menyukai perbuatannya tersebut. Mereka meniru Rasulullah hanya untuk mengikuti apa yang mereka senangi. Oleh karena itu kaum musyrikin dalam sebagian prilakunya senang menyamai kaum muslimin, walau harus mengeluarkan banyak harta demi tercapainya apa yang mereka inginkan itu.”

Ibnu Katsir menjelaskan dalam kitabnya Tafsir Al-Qur`an Al-’Azhim juz 4 halaman 310 :

“Allah melarang kaum mukminin untuk menyerupai mereka sedikit pun baik dalam perkara ushul maupun furu’.”

Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari juz 10 halaman 298 :

“Aku telah mengumpulkan hadits yang berbicara tentang perbedaan kaum muslimin dengan Ahlul Kitab. Ternyata aku menemukan 30 hukum tentang hal itu. Lalu aku tulis dalam kitabku dengan nama Al-Qaulu Ats-Tsabt fi Ash-Shaumi Yaum As-Sabt.

Sayid Qutub menjelaskan dalam kitab Fi Zhilal Qur`an juz I halaman 127 pada masalah berbedanya kaum muslimin dalam masalah kiblat :

“Sesungguhnya kekhasan dan perbedaan dalam penampakan jati diri merupakan hal yang penting bagi kaum muslimin. Kekhasan dan perbedaan dalam penampakan jati diri dan akidah serta kekhasan dan perbedaan dalam kiblat dan ibadah haruslah berbeda dan memiliki ciri khas tertentu. Terkadang pengaruh (perbedaan) muncul demikian jelas mengenai kekhasan dalam jati diri dan akidah, terkadang pula tidak begitu jelas dalam masalah kiblat dan syiar-syiar ibadah.

Di sini perlu diperhatikan nilai dari bentuk-bentuk formalitas ibadah. Orang yang pandangannya terfokus pada bentuk-bentuk formal ini semata, yang dilepaskan dari hal-hal yang melingkupinya dan juga terlepas dari dari tabiat kemanusiaanya dan pengaruh-pengaruhnya, maka akan tampak baginya bahwa melestarikan bentuk-bentuk formal tersebut adalah suatu fanatisme sempit atau suatu penyembahan kepada formalitas. Tetapi kalau kita mau berpikir lebih luas dan dalam, maka akal sehat kita akan menyingkapkan hakikat yang lain secara gamblang…

Berdasarkan asas yang fitri inilah Islam menegakan syiar-syiar ibadahnya secara keseluruhan. Syiar-syiar ibadah itu tak cukup ditunaikan hanya dengan niat atau kekhusyuan batin (tawajjuh ruhiyah) semata, akan tetapi kekhusuyuan batin ini harus memiliki bentuk-bentuk zahir.

Demikianlah, dalam setiap ibadah ada gerakan dan dalam setiap gerakan ada ibadah. Ini untuk menyatukan aspek yang lahir dan batin, untuk menyelaraskan antara kekuatan lahir dan kekuatan batin, yang sesuai dengan fitrah manusia secara keseluruhan, dengan metode yang selaras dengan jati dirinya yang khusus.

Pembedaan tempat yang diarah seorang muslim dalam sholat dan ibadah dan pengkhususannya, bukanlah (semata) agar dia berbeda dan nampak secara khusus dengan jati diri, manhaj dan arahnya. Pembedaan ini, adalah untuk memenuhi panggilan perasaannya yang cenderung ingin berbeda dan bersifat unik, yang pada gilirannya akan memunculkan keistimewaan dan keunikan.

Dari sini pula ada larangan untuk menyerupai (tasyabbuh) orang-orang non-muslim dalam sifat-sifat khas mereka, yang merupakan ekspresi lahir dari perasaan-perasaan batiniah mereka, seperti juga larangan mengikuti metode mereka dalam perasaan dan perilaku. Ini bukanlah kefanatikan dan bukan pula berpegang dengan formalitas semata, melainkan pandangan yang mendalam mengenai bentuk-bentuk formal yang bersifat lahiriah.”

MARIFAT

Istilah Ma'rifat berasal dari kata "Al-Ma'rifah" yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengamalan Tasawuf, maka istilah ma'rifat di sini berarti mengenal Allah ketika Shufi mencapai maqam dalam Tasawuf.

Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawuf; antara lain:

a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf yang mengatakan:
"Marifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya."

b. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth Thayyib As-Saamiriy yang mengatakan:
"Ma'rifat adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Shufi)...dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi..."

c. Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin
Abdillah yang mengatakan:
"Ma'rigfat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa yang meningkat ma'rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya)."

Tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat sampai kepada tingkatan ma'rifat. Karena itu, Shufi yang sudah mendapatkan ma'rifat, memiliki tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzuun Nuun Al-Mishriy yang mengatakan; ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Shufi bila sudah sampai kepada tingkatan ma'rifat, antara lain:

a. Selalu memancar cahaya ma'rifat padanya dalam segala sikap dan perilakunya. Karena itu, sikap wara' selalu ada pada dirinya.

b. Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu benar.

c. Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.

Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Shufi tidak membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT., sehingga Asy-Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa ma'rifat yang dimiliki Shufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhan-nya.

Begitu rapatnya posisi hamba dengan Tuhan-nya ketika mencapai tingkat ma'rifat, maka ada beberapa Ulama yang melukiskannya sebagai berikut:

a. Imam Rawiim mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan ma'rifat, bagaikan ia berada di muka cermin; bila ia memandangnya, pasti ia melihat Allah di dalamnya. Ia tidak akan melihat lagi dirinya dalam cermin, karena ia sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya. Maka tiada lain yang dilihatnya dalam cermin, kecuali hanya Allah SWT saja.

b. Al-Junaid Al-Bahdaadiy mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan ma'rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu menyerupai warna gelasnya. Maksudnya, Shufi yang sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya selalu menyerupai sifat-sifat dan kehendak-Nya. Lalu dikatakannya lagi bahwa seorang Shufi, selalu merasa menyesal dan tertimpa musibah bila suatu ketika ingatannya kepada Allah terputus meskipun hanya sekejap mata saja.

c. Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma'rifat itu adalah keadaan yang diliputi rasa kekagumam dan keheranan ketika Shufi bertatapan dengan Tuhan-nya, sehingga keadaan itu membawa kepada kelupaan dirinya.

Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Shufi ketika menekuni ajaran Tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari Syariat, Tarekat, Hakikat dan Ma'rifat. Tidak mungkin dapat ditempuh secara terbalik dan tidk pula secara terputus-putus.

Dengan cara menempuh tahapan Tasawuf yang berurutan ini, seorang hamba tidak akan mengalami kegagalan dan tiak pula mengalami kesesatan.

Salah Kaprah Pendidikan

Sejenak mari renungkan tugas kependidikan kita sebagai orangtua. Sudahkah pendidikan kita untuk buah hati sesuai dengan konsep Islam atau justru sebaliknya. Tentu memungut konsep dari luar Islam tidak salah. Tetapi jika itu bertentangan dengan Islam, seharusnya dengan lapang dada kita segera mengeliminisasinya.

Sebelum popular istilah parenting dengan berbagai metodenya, Islam sudah memberikan panduan lengkap dan aplikatif soal pendidikan dan pengasuhan anak. “Hai orang-orang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan kepada mereka dan mereka selalu mengerjakan segala yang diperintahkan-Nya” (At-Tahrim: 6).

Rasulullah seakan mengonfirmasi ayat di atas, “Barangsiapa memiliki dua anak dan diasuh dengan baik, maka mereka akan menjadi sebab orangtua masuk surga” (Bukhari). Dan jika jeli membuka khazanah Islam, kita juga akan menemukan kitab-kitab karya ulama Islam yang mengurai soal parenting. Teori-teorinya tidak kalah canggih, bersandar pada dalil-dalil yang accountable, dan sudah terbukti kebenarannya.

Islam memang sangat lengkap memberikan tuntunan pendidikan anak. Sejak memilih pasangan, saat anak dalam kandungan, usia balita, remaja, dan seterusnya. Tetapi konsep-konsep parenting yang belakangan marak kerap membuat banyak orangtua tergoda. Sepintas lalu memang tampak indah dan mempesona. Tetapi cermatilah dengan saksama, konsep racikan bumbu ala Barat itu sungguh mengidap banyak masalah. Tidak heran, canggihnya konsep pendidikan seakan berpacu dengan kebobrokan moralitas anak bangsa hari ini.

Data berikut membuat kita tercengang. Riset Divisi Anak dan Remaja Yayasan Kita dan Buah Hati pada Januari hingga September 2012 menyebutkan, 84 persen dari 1.199 murid SD pernah melihat film porno. Medianya adalah internet (21 persen), film atau VCD (14 persen), komik (13 persen), iklan (8 persen), sinetron (5 persen), dan sisanya dari HP, Facebook, Twitter, YouTube, dan Google juga tidak pernah steril dari muatan pornografi.

Data Komnas Perlindungan Anak juga menyebutkan, kasus tawuran pelajar sudah meningkat sejak enam bulan pertama pada 2012. Bayangkan, sejak Januari sampai Juni 2012, sudah terjadi 139 kasus tawuran di wilayah Jakarta. Sementara pada 2011, ada 339 kasus tawuran. Jumlah anak perokok di bawah 10 tahun antara 2008 hingga 2012 mencapai 239.000 orang. Sementara yang berusia 10 hingga 14 tahun, ada 1.2 juta orang (Majalah Karima, Desember 2012).

Banyak konsep pendidikan Barat yang memang salah kaprah. Misalnya, jargon pendidikan berbasis HAM dan anti kekerasan. Dengan dalih HAM dan kebebasan, mereka mengharamkan hukuman dengan kekerasan. Hukuman fisik ke anak dalam rangka pendidikan disamakan dengan kekerasan ke sesama orang dewasa atau preman. Hukuman fisik berarti KDRT, dan pelakunya harus dipidanakan. Maka kerap kita lihat guru atau orangtua yang harus berurusan dengan hukum dan kepolisian gara-gara menerapkan hukuman, yang dianggap melanggar HAM dan kebebasan anak.

Islam tidak pernah melegalkan kekerasan. Tetapi, pukulan tidak menyakiti yang diberikan untuk mendidik jelas absah dilakukan. Semua gamblang dijelaskan, seperti sebagai alternatif terakhir hukuman, tidak mengarah ke wajah, tidak disertai emosi dan kebencian. Simak sabda Rasulullah, “Ajarilah anak-anakmu shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka (jika tidak mau shalat) ketika berumur sepuluh tahun” (Abu Dawud).

Tujuh tahun adalah masa pelatihan, karena anak umumnya belum masuk usia baligh. Ketegasan mutlak dibutuhkan ketika anak sudah mencapai usia baligh, rata-rata usia 10 tahun. Paksaan? Semua ibadah mulanya memang butuh paksaan. Baru ketika anak memiliki kesadaran matang, ibadah akan menjadi kebutuhan, seperti makanan dan minuman. Rasulullah sendiri biasa menggantungkan cambuk di dinding rumah. Dalam hadis yang dihasankan oleh Nashiruddin Al-Albani, “Gantungkanlah cambuk di tempat yang bisa dilihat oleh anggota keluarga. Sungguh itu akan menjadi pengajaran bagi mereka” (Shahihul Jami).

Salah kaprah lain yaitu peniadaan perintah dan larangan dalam pendidikan. Ini bertolak belakang dengan konsep Islam. Luqman adalah pribadi sukses di bidang pendidikan. Ia dikaruniai ilmu dan kebenaran. Tutur katanya mengandung hikmah dan menginspirasi banyak orang, sehingga namanya diabadikan Allah dalam al-Quran. “Dan sungguh telah Kami berikan hikmah kepada Luqman” (Luqman: 12).

Simak dawuh Luqman kepada anaknya! “Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika ia memberi pelajaran kepadanya, Hai anakku, janganlah kamu menyekutukan Allah. Sungguh menyekutukan Allah itu benar-benar kezaliman besar” (Luqman: 13). Selanjutnya, Luqman bertutur, “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah manusia untuk mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan mungkar, bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sungguh yang demikian termasuk hal-hal yang diwajibkan. Dan janganlah kamu palingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri” (Luqman: 17-18).

Bukankah dalam ucapan Luqman itu terdapat perintah dan larangan? Allah bahkan berulang kali memerintah dan melarang kita. Yang taat perintah dijanjikan pahala, yang melanggar larangan diancam siksa. Gamblanglah perbedaan antara konsep Barat dan Islam. Dalam istilah Hamim Thohari, prinsip Barat cenderung “serba boleh” sementara Islam “bebas bertanggungjawab”. Barat mengedepankan “hak” sedangkan Islam menekankan “kewajiban”.

Juga salah kaprah saat orangtua merasa puas dengan hanya menitipkan anak ke sekolah. Dengan enteng mereka bilang, “Orang rusak seperti saya juga ingin punya anak yang baik”. Menggelikan. Surah At-Tahrim ayat 6 di atas tegas menyatakan, sebelum menyelamatkan anak, orangtua harus selamat terlebih dahulu. Singkatnya, mendidik anak harus dimulai dari mendidik diri. Kalimat bagus dari Imam Syafi’i patut dicamkan, “Perbaikilah dirimu sebelum memperbaiki mereka, karena mata mereka terikat padamu. Apa yang kamu lakukan, mereka anggap baik, apa yang kamu tinggalkan, mereka anggap tidak baik”. Inilah tarbiyah bil hal, pendidikan dengan teladan.

Salah kaprah yang lebih fatal adalah ketika pola pikir anak hanya disetting bahwa belajar semata untuk ilmu. Proses belajar tidak didasari iman. Lihatlah bagaimana kebanyakan orangtua yang gelisah ketika anaknya tidak bisa Matematika, IPA, atau ilmu bahasa. Dicarilah kursus-kursus untuk mengatasinya. Membaca Al-Quran dan ibadah bukan fokus perhatian utama. Yang penting, anak juara Matematika, IPA, dan bahasa. Soal Al-Quran dan ibadah, itu pekerjaan mereka yang sekolah jurusan agama.

Beberapa salah kaprah ini harus segera disadari. Bertambahnya ilmu harus otomatis menambah iman. Kecintaan terhadap ilmu harus melahirkan kecintaan terhadap agama. Bukan sebaliknya, justru semakin menjauhkan manusia dari Tuhan.

Friday 22 February 2013

Amal-amal yang Menghindarkan dari Kematian Buruk

Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya.

Terdapat hadits shahih bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam berlindung kepada Allah dari penyakit belang, kusta, gila, dan penyakit-penyakit buruk. Diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'Anhu, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam berdoa:

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْبَرَصِ وَالْجُنُونِ وَالْجُذَامِ وَمِنْ سَيِّئِ الأَسْقَامِ

"Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari belang, gila, lepra dan penyakit-penyakit yang buruk." (HR. Abu Dawud, al-Nasi, dan Ahmad. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Silsilah Shahihah)

Beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam juga berlindung dari kematian yang buruk dan sebab-sebabnya; seperti keruntuhan bangunan, jatuh dari ketinggian, tenggelam, terbakar, disesatkan syetan saat kematian, lari dari medan jihad.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْهَرَمِ وَالتَّرَدِّي وَالْهَدْمِ وَالْغَمِّ وَالْحَرِيقِ وَالْغَرَقِ وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ يَتَخَبَّطَنِي الشَّيْطَانُ عِنْدَ الْمَوْتِ وَأَنْ أُقْتَلَ فِي سَبِيلِكَ مُدْبِرًا وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ أَمُوتَ لَدِيغًا

“Ya Allah, sunguh aku berlindung kepada-Mu dari pikun, terjatuh dari ketinggian, keruntuhan bangunan, kedukaan, kebakaran, dan tenggelam. Aku berlindung kepada-Mu dari penyesatan setan saat kematian, terbunuh dalam kondisi murtad dan aku berlindung kepada-Mu dari mati karena tersengat binatang berbisa.” (HR. Al-Nasai dan Abu Dawud. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Al-Jami’: no. 1282)

Sebagian ulama lain menyebutkan, termasuk bagian dari kematian buruk adalah korban kecelakaan dan bencana alam yang semakin banyak di akhir zaman. Ada pula yang berpandangan, kematian buruk adalah kematian yang datang secara tiba-tiba. Ada pula yang berpendapat, mati yang menghebohkan seperti disalib dan semisalnya. Namun ada satu kesimpulan dari kematian ini, yaitu kematian dengan kemurkaan Allah Ta'ala. Karena kematian yang buruk termasuk bagian hukuman dari Allah dan kemurkaan-Nya.

Tentunya kita semua juga takut terhadap macam-macam kematian di atas. Karenanya kita berusaha mencari jalan dan sebab yang bisa menghindarkan darinya. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah mengabarkan beberapa sebab yang bisa menghindarkan dari kematian buruk.

Beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda;

إِنَّ الصَّدَقَةَ لَتُطْفِئُ غَضَبَ الرَّبِّ وَتَدْفَعُ عَنْ مَيْتَةَ السُّوْءِ

"Sesungguhnya shadaqah benar-benar memadamkan kemurkaan Allah dan menghindarkan dari kematian buruk." (HR. Al-Tirmidzi dan lainnya Hasan li Ghairihi)

Dalam hadits lain, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

اَلْمَعْرُوْفُ إِلَى النَّاسِ يَقِي صَاحِبَهَا مَصَارِعَ السُّوْءِ وَ الآفَاتِ وَ الْهَلَكَاتِ وَ أُهْلُ الْمَعْرُوْفِ فِي الدُّنْيَا هُمْ أَهْلُ الْمَعْرُوْفِ فِي الآخِرَةِ

"Berbuat baik kepada manusia menghindarkan pelakunya dari kematian buruk, musibah, dan kehancuran. Dan ahli kebaikan di dunia akan menjadi ahli kebaikan di akhirat." (HR. Al-Hakim dan dishahihkan oleh Al-Albani)

Imam al-Thabrani dalam al-Ausathnya meriwayatkan, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, "Sesungguhnya shadaqah secara sembunyi-sembunyi memadamkan kemarahan Allah. Dan sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik (kepada orang lain) menghindarkan dari kematian buruk, silaturrahim menambah umur dan menghindarkan kefakiran. Perbanyaklah ucapan Laa Haula wa Laa Quwwata illaa Billaah, karena sesungguhnya ia salah satu perbendaharaan surga dan di dalamnya terdapat obat dari 99 penyakit; yang paling rendah al-hamm (gundah)."

Dalam riwayat lain, "Perbuatan-perbuatan baik (kepada orang lain) menghindarkan dari kematian buruk. Shadaqah secara sembunyi-sembunyi memadamkan kemarahan Allah. silaturahim menambah umur. Setiap perbuatan baik adalah sedekah. Dan ahli kebaikan di dunia akan menjadi ahli kebaikan di akhirat. Ahli kemungkaran di dunia akan menjadi ahli kemungkaran di akhirat. Sedangkan orang yang pertama masuk surga adalah ahli kebaikan." (HR. al-Thabrani dan lainnya, dishahihkan oleh Al-Albani)

Imam al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad meriwayatkan hadits dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma secara marfu', "Siapa bertakwa kepada Tuhannya dan menyambung hubungan silaturahim, niscaya dipanjangkan umurnya, diperbanyak hartanya, dan dicintai keluarganya."

Dalam riwayat al-Tirmidzi dan selainnya, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda;

إِنَّ الصَّدَقَةَ لَتُطْفِئُ غَضَبَ الرَّبِّ وَتَدْفَعُ عَنْ مَيْتَةَ السُّوْءِ

"Sesungguhnya shadaqah benar-benar memadamkan kemurkaan Allah dan menghindarkan dari kematian buruk." (Hassan Lighairihi)

Kesimpulan

Berdasarkan beberapa hadits di atas bahwa yang bisa menghindarkan dari kecelakaan tragis, penyakit kronis, dan kematian buruk adalah shadaqah dan perbuatan baik (kepada orang lain), berbakti kepada orang tua, silaturahim, membantu orang kesusahan, berbuat baik kepada manusia, dan perbuat baik secara umum.

Ummul Mukminin, Khadijah Radhiyallahu 'Anha memberikan kesaksian atas kesimpun ini, perbuatan baik mencegah dari kematian buruk. Yaitu saat beliau menghibur Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, "Bergembiralah! Demi Allah, sungguh Allah tidak akan menghinakanmu untuk selama-lamanya. Demi Allah, sungguh engkau telah menyambung silaturahim, berkata jujur, membantu orang susah, memuliakan tamu, dan membela kebenaran." (Muttafaq 'Alaih)

Para ulama menjelaskan kalimat-kalimat Khadijah Radhiyallahu 'Anha ini, "Engkau tidak akan tertimpa keburukan karena Allah telah menjadikan dirimu berakhlak mulia dan berperangai baik."

Semoga Allah melindungi kami dan Anda sekalian dari perkara-perkara yang Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam berlindung daripadanya. Wallahu Ta'ala A'lam.

Thursday 21 February 2013

Berilmu dahulu, beramal kemudian!

Islam adalah rahmatan lil ‘alamin—pernyataan ini sudah lekat dalam kepala setiap muslim. Selanjutnya yang menjadi sangat penting bagi setiap orang yang mengaku sebagai muslim adalah bahwa ia harus meyakini islam adalah satu-satunya undang-undang kehidupan dan peraturan hidup yang hakiki bagi manusia dan diridhoi-Nya. Oleh karena itu, barangsiapa yang menerapkan ini dalam hidupnya, ia mendapat janji dari Allah Ta’ala berupa jaminan kehidupan yang mulia di dunia dan di akhirat, seperti firman-Nya,

Artinya, “Tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya diantara mereka dan orang-orang mukmin, mereka beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu (al-Qur’an), dan apa yang telah diturunkan sebelummu dan orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. orang-orang itulah yang akan Kami berikan kepada mereka pahala yang besar.” (QS. an-Nisa’, 4 : 162)

Untuk menjaga kesucian dien ini, Allah Ta’ala telah menetapkan para utusan-Nya bagi setiap umat dengan mengirimkan orang-orang yang mujaddid atau orang-orang yang berupaya mengembalikan syaria’t sesuai dengan yang diturunkan oleh Allah Ta’ala dan membumikan sunnah-sunnah yang diwariskan oleh Rasulullah saw kepada umat saat ini. Mereka dijadikan oleh Allah Ta’ala sebagai wali di muka bumi untuk tetap mengawal umat sehingga tidak berbelok ke arah yang berseberangan dengan jalan-Nya. Sementara dunia saat ini (baca: orang-orang kafir) sudah bergelora menancapkan syari’at sesatnya guna memalingkan manusia sejauh-jauhnya dari dien yang hak.
Kedudukan ilmu

Sesungguhnya para ulama mujaddid dihadirkan untuk umat karena ia memiliki kecukupan dan kecakapan dalam ilmu, terutama ilmu dien. Hal itu menandakan pentingnya kepemilikan ilmu. Sementara posisi ilmu dalam islam adalah hal yang paling utama sebelum beramal dan yang juga paling utama setelah beriman, sebab fungsi ilmu menyuburkan iman dan menunjukkan jalan kebenaran iman. Al-Qur’an banyak menyebutkan keterkaitan antara ilmu dan iman karena keduanya merupakan sarana yang dapat beroleh kemuliaan dan ketinggian derajat manusia di mata Allah Ta’ala. Seperti firman-Nya,

Artinya, “…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Mujadilah, 58:11)

Ibnu Mas’ud dalam menafsirkan ayat tersebut mengatakan bahwa kedudukan orang-orang beriman jauh lebih tinggi dibandingkan dengan orang-orang kafir meski mereka memiliki kelebihan yang bersifat keduniaan dari orang-orang beriman. Namun derajat orang-orang beriman yang berilmu akan menempati posisi yang lebih baik lagi ketimbang orang yang hanya beriman saja. Hal tersebut dikarenakan hanya dengan sarana ilmu lah, seseorang dapat mengetahui mana yang haq dan mana yang bathil, yang mana yang sesuai dengan standar kebenaran yang telah disyari’atkan Allah Ta’ala kepada manusia dan yang mana yang hanya mengekor kepada thoghut.

Para ulama menetapkan bahwa syarat syahnya suatu amalan adalah ikhlas dan ittiba’ (mengikuti). Bagaimana ittiba’ bisa berlangsung—disinilah pentingnya peran ilmu. Mana mungkin seseorang bisa mengikuti, sementara ia tidak tahu siapa dan apa yang harus diikutinya… Sementara Rasulullah saw bersabda,

Artinya, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada padanya perintahku, maka amalan itu tertolak.”(HR. Muslim)

Dengan ilmu, manusia bisa memperoleh pengetahuan akan cara hidup yang harus dijalaninya, memperoleh pengetahuan tentang apa-apa yang baik dan apa-apa yang buruk bagi dirinya, mengetahui kesempatannya untuk bisa memperoleh derajat kemuliaan di sisi sang Kholik, bahkan dengan ilmu ia bisa merasakan kehadiran Allah Ta’ala mengawasi dirinya.

Imam Ahmad rahimahullah berkata,

Artinya, “Manusia itu lebih membutuhkan ilmu daripada makan dan minum, karena seseorang itu butuh makan dan minum sekali atau dua kali sehari, sedangkan ilmu itu dibutuhkan setiap kali hembusan nafasnya.” (kitab Madarijus Salikin)

Rasulullah saw juga pernah menegaskan tentang keutamaan ilmu bagi seseorang,

Artinya, “Barangsiapa yang Allah kehendaki dengannya ia menjadi baik, maka Dia memberinya pemahaman terhadap agama (al-Qur’an dan as-Sunnah).” (HR. Bukhari)

Banyaknya pernyataan dari Allah Ta’ala yang menunjukkan tingginya derajat ilmu diantaranya yaitu bahwa posisi orang yang berilmu dibanding semua manusia adalah bak bulan purnama diantara bintang-gemintang, ia mendapatkan penghormatan dari para malaikat yang menundukkan sayapnya, serta beroleh pertolongan untuk dimintakan-ampunan dari binatang, tetumbuhan, bahkan benda-benda mati disekitarnya.

Allah Ta’ala berfirman,

Artinya, “Allah menganugerahkan al-hikmah (kefahaman yang dalam tentang al-Qur’an dan as-Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS. al-Baqarah, 2 : 269)

Oleh karena itulah, hanya dengan ilmu—kemuliaan dapat diperoleh. Tentu saja ilmu yang mendapat jaminan kemuliaan bagi pemiliknya adalah ilmu dien atau ilmu syari’at, yang berguna untuk mengetahui segala yang diwajibkan dan segala yang diharamkan kepada muslim yang mukallaf. Ilmu juga merupakan warisan yang paling berharga yang ditinggalkan oleh para nabi dan rasul bagi umatnya sehingga para ulama dan orang-orang berilmu adalah orang-orang yang paling beruntung karenanya. Maka sudah seyogyanya kita selalu memohon kepada Allah Ta’ala agar diberikan kemudahan dalam memperoleh ilmu serta memahamkannya. Allah Ta’ala telah mengajarkan dalam firman-Nya,

Artinya, “…dan katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” (QS. Thaha, 20 : 114)

Hal penting kemudian adalah mencari wasilah untuk diperolehnya ilmu yang telah dimohonkan tersebut. Begitu banyak kisah yang bisa kita ketahui bahwa para nabi dan rasul memiliki perjalanan yang panjang dalam usahanya memperoleh ilmu, demikian pula para sahabat, para tabi’in, para tabi’ut-tabi’in, hingga para ulama saat ini. Semuanya berikhtiar dengan segenap kemampuan yang ada.

Lalu bagaimanakah dengan kita sendiri? Apakah yang sudah kita peroleh selama ini?

Sebagian besar mungkin sudah merasa cukup dengan perolehan yang ada, bahkan tak sedikit yang merasa puas karena sudah dilahirkan oleh orang-tua yang muslim. Memang benar, islamnya kita karena keturunan merupakan anugrah yang patut disyukuri—namun modal dasar yang kita sudah miliki tersebut tetap harus ditingkatkan karena ia perlahan bisa memudar bahkan lenyap karena tak pernah disuburkan dengan ilmu.

Para ulama terdahulu memiliki ghiroh luar-biasa terhadap ilmu. Mereka berkemauan keras demi tercapainya ilmu. Melalui perjalanan yang tak sebentar, dengan harta yang mereka habiskan hingga menjadi miskin karenanya, dan dengan menemui begitu banyak orang shalih yang mempunyai kecakapan ilmu yang hidup di zaman mereka.

Rasulullah saw bersabda,

Artinya, “Bahwasanya siapa yang melalui suatu jalan dalam menuntut ilmu, maka akan dimudahkan baginya jalan ke surga…” (Shahih al-Jami’ no. 1727)

Manshur bin Ammar al-Khurasani, dalam kitab Al-Muhadditsul Fasil Baina Arraawi wal Waa’i (hal. 220-221), mengatakan tentang orang-orang yang mencari ilmu bahwa mereka keluar dari satu negeri ke negeri yang lain, menelusuri setiap lembah, kusut rambutnya, lusuh bajunya, kempis perutnya, kering bibirnya, dan kurus badannya untuk mencari ilmu. Mereka hanya punya satu impian, yaitu keridhaan pada ilmu. Tidak menghalangi mereka rasa lapar dan dahaga, serta semangat mereka tidak pernah lekang oleh cuaca panas ataupun dingin. Mereka membedakan hadits yang shahih dengan yang dha’if dengan pengetahuan yang kuat, pemikiran yang cemerlang, serta hati yang siap untuk menerima kebenaran. Maka amanlah mereka dari kerancuan dan hal-hal yang dibuat-buat orang dan dari kebohongan para pendusta.

Mereka mengembara mencari ilmu di siang-siang yang panas dan menghidupkan malam dengan menuliskan ilmu yang telah mereka dapatkan. Umur mereka pun habis dalam menekuni ilmu, terlebih kesenangan mereka terhadap dunia yang semakin tak menjadi prioritas. Dunia bagi mereka adalah hari-hari yang berlalu, yang apabila tanpa dihiasi dengan ilmu hanya merupakan kesia-siaan yang bisa mendatangkan kebinasaan bagi manusia.

Imam Syafi’i rahimahullah berkata dalam kitab Syafahat min Shabril ulama’, “Tidak sesuai orang yang menuntut ilmu, kecuali bagi orang yang siap miskin.” Beliau juga berkata, “Tidak mungkin menuntut ilmu, orang yang pembosan dan sering berubah pikiran serta merasa puas dengan apa yang ada pada dirinya. Akan tetapi, menuntut ilmu dengan menahan diri, dengan kesempitan hidup, dan berkhidmat untuk ilmu tersebut, maka dengan itu ia akan beruntung.”

Beberapa kisah perjalanan para ulama dalam menuntut ilmu

Dalam firman-Nya,

Artinya, “…mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. at-Taubah, 9 : 122)

Imam Syafi’i rahimahullah menegaskan bahwa tidak akan beruntung orang yang menuntut ilmu kecuali ia berada dalam keadaan serba kekurangan. “Aku dahulu untuk mencari sehelai kertas pun sangat sulit, sehingga setiap kali selesai menyimak seorang guru—aku pulang lalu mengambil tembikar, pelepah kurma, dan tulang unta. Aku menulis hadits yang telah kuhafalkan disitu dan jika telah tak ada lagi bidang yang tersisa untuk kutulis—aku menyimpannya dalam gentong milik ibuku hingga penuh dengannya.” (Kitab Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlih)

Abu Darda’ mengatakan, “Kalau aku menemukan satu ayat dalam al-Qur’an dan tidak ada yang bisa menerangkannya kepadaku, kecuali seseorang yang tinggal sangat jauh sekali, maka aku akan temui ia.” (Ar-Rihlah fi Thalabil Hadits, 1/195)

Sa’id al-Musayyab pernah berkata, “Sesungguhnya aku pernah berjalan berhari-hari dan bermalam-malam untuk mencari satu hadits.” (HR. Malik)

Imam Malik bin Anas pernah belajar dari 900 guru, sekitar 300 dari mereka merupakan golongan tabi’in, dan selainnya merupakan tabi’ut-tabi’in. Ia sangat menaruh perhatian pada keotentikan satu riwayat dan sangat berhati-hati agar tidak mengambil riwayat dari orang-orang yang tidak tsiqoh. Dituliskan dalam Tartibul Madarik li Ma’rifati A’lami Mazhabil Malik bahwa Imam Malik sedemikiannya merasakan kemiskinan untuk memperoleh ilmu, sampai-sampai ia menjual kayu atap rumahnya.

Imam Ahmad bin Hambal, seperti yang disebutkan Ibnu al-Jauzi dalam kitab Shaidul Khathir, mengatakan bahwa beliau (Imam Ahmad bin Hambal) sampai dua kali mengelilingi dunia untuk menuntut ilmu hingga beliau dapat mengumpulkan musnad. Sementara Abdullah bin Muhammad al-Baghawi mengatakan bahwa Ahmad bin Hambal berkata, “Aku akan menuntut ilmu hingga aku dimasukkan ke liang kubur.”

Dari Ja’far bin Muhammad al-Quthun bahwa Imam Bukhari berkata, “Aku belajar pada seribu orang ulama, bahkan lebih dan aku tidak menuliskan satu hadits pun kecuali kusebutkan sanadnya.” Beliau rahimahullah juga berkata, “Aku menulis kitab Ash-Shahih selama sepuluh tahun dan aku mengeluarkan padanya enamratus ribu hadits, dan aku menjadikannya sebagai hujjah antara aku dengan Allah Ta’ala.”

Begitu juga keseriusan yang dijalani syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, beliau mempelajari al-Qur’an, ilmu hadits, ilmu nahwu, fiqih beserta hukum-hukum ushulnya, tafsir, dan lainnya dalam usia yang masih belasan tahun sampai-sampai di tempat tinggalnya di Damaskus ia dikenal sebagai seorang yang cerdas, memiliki hafalan yang kuat, serta memahami beragam risalah. Kehidupannya pun juga diwarnai oleh banyak penentangan hingga sempat memasukkannya ke dalam penjara. Namun itu tidak menyurutkan semangatnya, seperti yang dikatakan Ibnu Abdil Hadi, “Syaikh Ibnu Taimiyyah memiliki karangan, fatwa, kaidah, jawaban, dan yang lainnya hingga tidak terhingga. Aku tidak mengetahui seorang pun yang mengumpulkan seperti yang beliau kumpulkan atau menulis seperti yang beliau tulis. Padahal kebanyakan dari tulisannya adalah hasil dari apa yang didiktekan dari hafalan dan ditulis ketika beliau dalam penjara yang tentu tidak ada buku rujukan yang bisa beliau gunakan pada saat seperti itu.”

Demikian sekilas perjuangan dan kesungguhan para mujaddid dalam meniti ilmu. Apa yang mereka tinggalkan merupakan sebuah keberuntungan untuk hidup kita di masa sekarang. Seperti sabda Rasulullah saw,

Artinya, “Sesungguhnya para nabi tidak pernah mewariskan dinar maupun dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, ia telah mendapat bagian yang sangat besar.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah)

Karya besar mereka sudah diaplikasikan dalam berbagai media yang pada era ini amat mudah kita peroleh dimana-mana. Tinggal kita camkan pada diri kita: kapan akan kita ikuti proyek cara hidup mereka dengan pemenuhan nilai investasi keseriusan fi sabilillah berjangka-panjang demi peraihan akhir yang gemilang seperti mereka… Sementara sudah teramat cukup rasanya kita memenuhi keseharian kita dengan berleha-leha menghambur-hamburkan umur, menikmati berbagai hiburan yang menina-bobokan akal dan mengeraskan hati, bahkan adakalanya hanya serius untuk memenuhi perkara perut semata. Sementara musuh-musuh Islam sudah ditakdirkan akan selalu berupaya mengganyang iman kaum muslimin.

Oleh sebab itu, sudah seharusnya kita meningkatkan kualitas diri kita sebagai seorang muslim melalui keilmuan yang hakiki. Lalu senantiasa bermunajat agar diberikan kemudahan dalam kefaqihan;

Artinya, “…dan katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” (QS. Thaha, 20 : 114).

Wallahu’alam bish shawab…

Hukum asuransi dalam Islam

Kehidupan manusia pada zaman modern ini sarat dengan beragam macam resiko dan bahaya. Dan manusia sendiri tidak mengetahui apa yang akan terjadi esok hari dan dimana dia akan meninggal dunia. Resiko yang mengancam manusia sangatlah beragam, mulai dari kecelakaan transportasi udara, kapal, hingga angkutan darat. Manusia juga menghadapi kecelakaan kerja, kebakaran, perampokan, pencurian, terkena penyakit, bahkan kematian itu sendiri.

Untuk menanggulangi itu semua, manusia berinisiatif untuk membuat suatu transaksi yang bisa menjamin diri dan hartanya, yang kemudian dikenal dengan istilah asuransi. Asuransi ini termasuk muamalat kontemporer yang belum ada pada zaman nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, perlu ada penjelasan tentang hukumnya di dalam Islam
Pengertian Asuransi

Asuransi berasal dari kata assurantie dalam bahasa Belanda, atau assurance dalam bahasa perancis, atau assurance/insurance dalam bahasa Inggris. Assurance berarti menanggung sesuatu yang pasti terjadi, sedang Insurance berarti menanggung sesuatu yang mungkin atau tidak mungkin terjadi.

Menurut sebagian ahli asuransi berasal dari bahasa Yunani, yaitu assecurare yang berarti menyakinkan orang.

Di dalam bahasa Arab asuransi dikenal dengan istilah : at Takaful, atau at Tadhamun yang berarti : saling menanggung. Asuransi ini disebut juga dengan istilah at-Ta’min, berasal dari kata amina, yang berarti aman, tentram, dan tenang. Lawannya adalah al-khouf, yang berarti takut dan khawatir. ( al Fayumi, al Misbah al Munir, hlm : 21 ) Dinamakan at Ta’min, karena orang yang melakukan transaksi ini (khususnya para peserta ) telah merasa aman dan tidak terlalu takut terhadap bahaya yang akan menimpanya dengan adanya transaksi ini.

Adapun asuransi menurut terminologi sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1992:

” Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri pada tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian pada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan “
Macam-macam Asuransi

Para ahli berbeda pendapat di dalam menyebutkan jenis-jenis asuransi, karena masing-masing melihat dari aspek tertentu. Oleh karenanya, dalam tulisan ini akan disebutkan jenis-jenis asuransi ditinjau dari berbagai aspek, baik dari aspek peserta, pertanggungan, maupun dari aspek sistem yang digunakan :

I. Asuransi ditinjau dari aspek peserta, maka dibagi menjadi :

1. Asuransi Pribadi ( Ta’min Fardi ) : yaitu asuransi yang dilakukan oleh seseorang untuk menjamin dari bahaya tertentu. Asuransi ini mencakup hampir seluruh bentuk asuransi, selain asuransi sosial

2. Asuransi Sosial ( Ta’min Ijtima’i ) , yaitu asuransi ( jaminan ) yang diberikan kepada komunitas tertentu, seperti pegawai negri sipil ( PNS ), anggota ABRI, orang-orang yang sudah pensiun, orang-orang yang tidak mampu dan lain-lainnya. Asuransi ini biasanya diselenggarakan oleh pemerintah dan bersifat mengikat, seperti Asuransi Kesehatan ( Askes ), Asuransi Pensiunan dan Hari Tua ( PT Taspen ), Astek ( Asuransi Sosial Tenaga Kerja ) yang kemudian berubah menjadi Jamsostek ( Jaminan Sosial Tenaga Kerja), Asabri ( Asuransi Sosial khusus ABRI ), asuransi kendaraan, asuransi pendidikan dan lain-lain. [1]

Catatan : Asuransi Pendidikan adalah suatu jenis asuransi yang memberikan kepastian / jaminan dana yang akan digunakan untuk biaya pendidikan kelak. Asuransi Pendidikan ini mempunyai dua unsur yaitu Investasi dan Proteksi. Investasi bertujuan untuk menciptakan sejumlah dana / nilai tunai agar mampu mengalahkan laju inflasi, sehingga dana atau nilai tunai yang tercipta bisa dipakai untuk keperluan dana pendidikan.

Proteksi mempunyai tujuan memberikan proteksi kesehatan pada diri Anak atau peserta utama atau tertanggung utama, sehingga apabila terjadi resiko (sakit) maka asuransi ini yang akan memberikan santunan, tanpa mengurangi dana yang telah diinvestasikan dalam asuransi pendidikan ini. Dengan adanya proteksi yang diberikan ini maka dana yang sudah diinvestasikan tidak akan terganggu karena terjadi suatu resiko. Selain Proteksi terhadap kesehatan anak, asuransi ini juga memberikan fasilitas berinvestasi, ketika orang tua (penabung) mengalami resiko, yang selanjutnya pihak perusahaan akan mengambil alih untuk menabungkan ke rekening anak di rekening asuransi pendidikan ini sampai anak dewasa. Jadi dengan adanya proteksi ini maka kepastian dana untuk pendidikan senantiasa tersedia saat dibutuhkan. [2]

II. Asuransi ditinjau dari bentuknya.

Asuransi ditinjau dari bentuknya dibagi menjadi dua :

1. Asuransi Takaful atau Ta’awun. ( at Ta’min at Ta’awuni )

2. Asuransi Niaga ( at Ta’min at Tijari ) ini mencakup : asuransi kerugian dan asuransi jiwa.

III. Asuransi ditinjau dari aspek pertanggungan atau obyek yang dipertanggungkan

Jenis-jenis asuran ditinjau dari aspek pertanggungan adalah sebagai berikut :

Pertama : Asuransi Umum atau Asuransi Kerugian ( Ta’min al Adhrar )

Asuransi Kerugian adalah asuransi yang memberikan ganti rugi kepada tertanggung yang menderita kerugian barang atau benda miliknya, kerugian mana terjadi karena bencana atau bahaya terhadap mana pertanggungan ini diadakan, baik kerugian itu berupa:
Kehilangan nilai pakai atau kekurangan nilainya atau kehilangan keuntungan yang diharapkan oleh tertanggung.

Penanggung tidak harus membayar ganti rugi kepada tertanggung kalau selama jangka waktu perjanjian obyek pertanggungan tidak mengalami bencana atau bahaya yang dipertanggungkan.

Kedua : Asuransi Jiwa. ( Ta’min al Askhas )

Asuransi jiwa adalah sebuah janji dari perusahaan asuransi kepada nasabahnya bahwa apabila si nasabah mengalami risiko kematian dalam hidupnya, maka perusahaan asuransi akan memberikan santunan dengan jumlah tertentu kepada ahli waris dari nasabah tersebut.

Asuransi jiwa biasanya mempunyai tiga bentuk [3] :

1. Term assurance (Asuransi Berjangka)

Term assurance adalah bentuk dasar dari asuransi jiwa, yaitu polis yang menyediakan jaminan terhadap risiko meninggal dunia dalam periode

waktu tertentu.

Contoh Asuransi Berjangka (Term Insurance) :
Usia Tertanggung 30 tahun
Masa Kontrak 1 tahun
Rate Premi (misal) : 5 permill/tahun dari Uang Pertanggungan
Uang Pertanggungan : Rp. 100 Juta
Premi Tahunan yang harus dibayar : 5/1000 x 100.000.000 = Rp. 500.000
Yang ditunjuk sebagai penerima UP : Istri (50%) dan anak pertama (50%)

Bila tertanggung meninggal dunia dalam masa kontrak, maka perusahaan Asuransi sebagai penanggung akan membayar uang Pertanggungan sebesar 100 juta kepada yang ditunjuk.

2. Whole Life Assurance (Asuransi Jiwa Seumur Hidup)

Merupakan tipe lain dari asuransi jiwa yang akan membayar sejumlah uang pertanggungan ketika tertanggung meninggal dunia kapan pun. Merupakan polis permanen yang tidak dibatasi tanggal berakhirnya polis seperti pada term assurance. Karena klaim pasti akan terjadi maka premium akan lebih mahal dibanding premi term assurance dimana klaim hanya mungkin terjadi. Polis whole life merupakan polis substantif dan sering digunakan sebagai proteksi dalam pinjaman.

3. Endowment Assurance (Asuransi Dwiguna)

Pada tipe ini, jumlah uang pertanggungan akan dibayarkan pada tanggal akhir kontrak yang telah ditetapkan.

Contoh Asuransi Dwiguna Berjangka (Kombinasi Term & Endowment)
Usia Tertanggung 30 tahun
Masa Kontrak 10 tahun
Rate Premi (misal) : 85 permill/tahun dari Uang Pertanggungan
Uang Pertanggungan : Rp. 100 Juta
Premi yang harus dibayar : 85/1000 x 100.000.000 = Rp. 8.500.000,-
Yang ditunjuk sebagai penerima UP : Istri (50%) dan anak pertama (50%)

1. Bila tertanggung meninggal dunia dalam masa kontrak, maka perusahaan Asuransi sebagai penanggung akan membayar uang Pertanggungan sebesar 100 juta kepada yang ditunjuk.

2. Bila tertanggung hidup sampai akhir kontrak, maka tertanggung akan menerima uang pertanggungan sebesar 100 juta

IV. Asuransi ditinjau dari sistem yang digunakan.

Asuransi ditinjau dari sistem yang digunakan, maka menjadi :

1. Asuransi Konvensional

2. Asuransi Syariah adalah suatu pengaturan pengelolaan risiko yang memenuhi ketentuan Syariah, tolong menolongsecara mutual yang melibatkan peserta dan operator. [4]
Hukum Asuransi

Hukum Asuransi menurut Islam berbeda antara satu jenis dengan lainnya, adapun rinciannya sebagai berikut :
Pertama : Ansuransi Ta’awun

Untuk asuransi ta’awun dibolehkan di dalam Islam, alasan-alasannya sebagai berikut [5] :


Asuransi Ta’awun termasuk akad tabarru’ (sumbangan suka rela) yang bertujuan untuk saling bekersama di dalam mengadapi marabahaya, dan ikut andil di dalam memikul tanggung jawab ketika terjadi bencana. Caranya adalah bahwa beberapa orang menyumbang sejumlah uang yang dialokasikan untuk kompensasi untuk orang yang terkena kerugian. Kelompok asuransi ta’awun ini tidak bertujuan komersil maupun mencari keuntungan dari harta orang lain, tetapi hanya bertujuan untuk meringankan ancaman bahaya yang akan menimpa mereka, dan berkersama di dalam menghadapinya.


Asuransi Ta’awun ini bebas dari riba, baik riba fadhal, maupun riba nasi’ah, karena memang akadnya tidak ada unsure riba dan premi yang dikumpulkan anggota tidak diinvestasikan pada lembaga yang berbau riba.


Ketidaktahuaan para peserta asuransi mengenai kepastian jumlah santunan yang akan diterima bukanlah sesuatu yang berpengaruh, karena pada hakekatnya mereka adalah para donatur, sehingga di sini tidak mengandung unsur spekulasi, ketidakjelasan dan perjudian.


Adanya beberapa peserta asuransi atau perwakilannya yang menginvestasikan dana yang dikumpulkan para peserta untuk mewujudkan tujuan dari dibentuknya asuransi ini, baik secara sukarela, maupun dengan gaji tertentu.
Kedua : Asuransi Sosial

Begitu juga asuransi sosial hukumnya adalah diperbolehkan dengan alasan sebagai berikut :


Asuransi sosial ini tidak termasuk akad mu’awadlah ( jual beli ), tetapi merupakan kerjasama untuk saling membantu.


Asuransi sosial ini biasanya diselenggarakan oleh Pemerintah. Adapun uang yang dibayarkan anggota dianggap sebagai pajak atau iuran, yang kemudian akan diinvestasikan Pemerintah untuk menanggulangi bencana, musibah, ketika menderita sakit ataupun bantuan di masa pensiun dan hari tua dan sejenisnya, yang sebenarnya itu adalah tugas dan kewajiban Pemerintah. Maka dalam akad seperti ini tidak ada unsur riba dan perjudian.
Ketiga : Asuransi Bisnis atau Niaga

Adapun untuk Asuransi Niaga maka hukumnya haram. Adapun dalil-dalil diharamkannya Asuransi Niaga ( Bisnis ), antara lain sebagai berikut [6] :

Pertama: Perjanjian Asuransi Bisnis ini termasuk dalam akad perjanjian kompensasi keuangan yang bersifat spekulatif, dan karenanya mengandung unsur gharar yang kentara. Karena pihak peserta pada saat akad tidak mengetahui secara pasti jumlah uang yang akan dia berikan dan yang akan dia terima. Karena bisa jadi, setelah sekali atau dua kali membayar iuran, terjadi kecelakaan sehingga ia berhak mendapatkan jatah yang dijanjikan oleh pihak perusahaan asuransi. Namun terkadang tidak pernah terjadi kecelakaan, sehingga ia membayar seluruh jumlah iuran, namun tidak mendapatkan apa-apa. Demikian juga pihak perusahaan asuransi tidak bisa menetapkan jumlah yang akan diberikan dan yang akan diterima dari setiap akad secara terpisah. Dalam hal ini, terdapat hadits Abu Hurairah ra, bahwasanya ia berkata :

َ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

” Rasulullah saw melarang jual beli dengan cara hashah (yaitu: jual beli dengan melempar kerikil) dan cara lain yang mengandung unsur penipuan.” ( HR Muslim, no : 2787 )

Kedua: Perjanjian Asuransi Bisnis ini termasuk bentuk perjudian ( gambling ), karena mengandung unsur mukhatarah ( spekulasi pengambilan resiko ) dalam kompensasi uang, juga mengandung ( al ghurm ) merugikan satu pihak tanpa ada kesalahan dan tanpa sebab, dan mengandung unsur pengambilan keuntungan tanpa imbalan atau dengan imbalan yang tidak seimbang. Karena pihak peserta ( penerima asuransi ) terkadang baru membayar sekali iuran asuransi, kemudian terjadi kecelakaan, maka pihak perusahaan terpaksa menanggung kerugian karena harus membayar jumlah total asuransi tanpa imbalan. Sebaliknya pula, bisa jadi tidak ada kecelakaan sama sekali, sehingga pihak perusahaan mengambil keuntungan dari seluruh premi yang dibayarkan seluruh peserta secara gratis. Jika terjadi ketidakjelasan seperti ini, maka akad seperti ini termasuk bentuk perjudian yang dilarang oleh Allah swt, sebagaimana di dalam firman-Nya :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib de-ngan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” ( QS. Al-Maidah: 90).

Ketiga: Perjanjian Asuransi Bisnis itu mengandung unsur riba fadhal dan riba nasi’ah sekaligus. Karena kalau perusahaan asuransi membayar konpensasi kepada pihak peserta (penerima jasa asuransi) , atau kepada ahli warisnya melebihi dari jumlah uang yang telah mereka setorkan, berarti itu riba fadhal. Jika pihak perusahaan membayarkan uang asuransi itu setelah beberapa waktu, maka hal itu termasuk riba nasi’ah. Jika pihak perusahaan asuransi hanya membayarkan kepada pihak nasabah sebesar yang dia setorkan saja, berarti itu hanya riba nasi’ah. Dan kedua jenis riba tersebut telah diharamkan berdasarkan nash dan ijma’ para ulama.

Keempat: Akad Asuransi Bisnis juga mengandung unsur rihan ( taruhan ) yang diharamkan. Karena mengandung unsur ketidakpastian, penipuan, serta perjudian. Syariat tidak membolehkan taruhan kecuali apabila menguntungkan Islam, dan mengangkat syiarnya dengan hujjah dan senjata. Nabi saw telah memberikan keringanan pada taruhan ini secara terbatas pada tiga hal saja, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah ra, bahwasnya Rasulullah saw bersabda :

لَا سَبَقَ إِلَّا فِي خُفٍّ أَوْ فِي حَافِرٍ أَوْ نَصْلٍ

“ Tidak ada perlombaan kecuali dalam hewan yang bertapak kaki ( unta ), atau yang berkuku ( kuda ), serta memanah.” ( Hadits Shahih Riwayat Abu Daud, no : 2210 )

Asuransi tidak termasuk dalam kategori tersebut, bahkan tidak mirip sama sekali, sehingga diharamkan.

Kelima: Perjanjian Asuransi Bisnis ini termasuk mengambil harta orang tanpa imbalan. Mengambil harta tanpa imbalan dalam semua bentuk perniagaan itu diharamkan, karena termasuk yang dilarang dalam firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS.An-Nisa’: 29).

Keenam: Perjanjian Asuransi Bisnis itu mengandung unsur mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh syara’. Karena pihak perusahaan asuransi tidak pernah menciptakan bahaya dan tidak pernah menjadi penyebab terjadinya bahaya. Yang ada hanya sekedar bentuk perjanjian kepada pihak peserta penerima asuransi, bahwa perusahaan akan bertanggungjawab terhadap bahaya yang kemungkinan akan terjadi, sebagai imbalan dari sejumlah uang yang dibayarkan oleh pihak peserta penerima jasa asuransi. Padahal di sini pihak perusahaan asuransi tidak melakukan satu pekerjaan apapun untuk pihak penerima jasa, maka perbuatan itu jelas haram.

Perbedaan Asuransi Syariah dan Konvensional.[7]

Adapun perbedaan antara keduanya adalah sebagai berikut :


Dari Sisi Prinsip Dasar

Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah kedua- duanya bertugas untuk mengelola dan menanggulangi risiko, hanya saja di dalam Asuransi Syariah konsep pengelolaannya dilakukan dengan menggunakan pola saling menanggung risiko antara pengelola dan peserta( risk sharing ) atau disebut dengan at takaful dan at tadhamun. Sedang dalam Asuransi Konvensional pola kerjanya adalah memindahkan risiko dari nasabah ( peserta ) kepada perusahaan ( pengelola ), yang disebut dengan risk transfer. Sehingga resiko yang mengenai peserta akan ditanggung secara penuh oleh pengelola.


Dari Sisi Akad

Pada bagian tertentu ausransi syariah akadnya adalah tabarru’ ( sumbangan kemanusiaan ) dan ta’awun ( tolong menolong ), serta akad wakalah dan mudharabah ( bagi hasil ). Sedangkan pada asuransi konvensional, akadnya adalah jual beli yang bersifat al gharar ( spekulatif ).


Dari Sisi Kepimilikan Dana

Di dalam Asuransi Konvensional dana yang dibayarkan nasabah kepada perusahaan ( premi ) menjadi menjadi milik perusahaan secara penuh, khususnya jika peserta tidak melakukan klaim apapun selama masa asuransi. Sedangkan di dalam Asuransi Syariah dana tersebut masih menjadi milik peserta, setelah dikurangi pembiayaan dan fee ( ujrah ) perusahaan. Karena di dalam Asuransi Syariah, perusahaan hanya sebagai pemegang amanah ( wakil ) yang digaji oleh peserta, atau yang sering disebut dengan istilah al Wakalah bi al Ajri. Bisa juga perusahaan sebgai pengelola dana ( mudharib ) dalam akad mudharabah ( bagi hasil ). Bahkan ada perusahaan yang mengembalikan underwriting surplus pengelolaan dana tabarru’nya kepada peserta selama tidak ada klaim pada masa asuransi. Ataupun perusahaan sebagai pengelola dana.


Dari sisi obyek

Asuransi Syariah hanya membatasi pengelolaannya pada obyek-obyek asuransi yang halal dan tidak mengandung syubhat. Oleh karenanya tidak boleh menjadikan obyeknya pada hal-hal yang haram atau syubhat, seperti gedung-gedung yang digunakan untuk maksiat, atau pabrik-pabrik minuman keras dan rokok, bahkan juga hotel-hotel yang tidak syariah. Adapun Asuransi Konvensional tidak membedakan obyek yang haram atau halal, yang penting mendatangkan keuntungan.


Dari Sisi Investasi Dana.

Dana dari kumpulan premi dari peserta selama belum dipakai, oleh perusahaan asuransi syariah diinvestasikan pada lembaga keuangaaan yang berbasis syariah atau pada proyek-proyek yang halal yang didasarkan pada sistem upah atau bagi hasil. Adapun asuransi konvensional pengelolaan investasinya pada sistem bunga yang banyak mengandung riba dan spekulatif ( gharar ).


Dari Sisi Pembayaran Klaim.

Pada asuransi syariah pembayaran klaim diambilkan dari rekening tabarru’ ( dana sosial ) dari seluruh peserta, yang sejak awal diniatkan untuk diinfakkan untuk kepentingan saling tolong menolong bila terjadi musibah pada sebagian atau seluruh peserta. Sedangkan pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambil dari dana perusahaan karena sejak awal perjanjian bahwa seluruh premi menjadi milik perusahaan dan jika terjadi klaim, maka secara otomatis menjadi pengeluaraan perusahaan.


Dari Sisi Pengawasan.

Dalam asuransi syariah terdapat Dewan Pengawas Syariah ( DPS ), sesuatu yang tidak di dapatkan pada asuransi konvensional.


Dari sisi dana zakat, infaq dan sadaqah.

Dalam asuransi syariah ada kewajiban untuk mengeluarkan zakat sebagaimana ketentuan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional tidak dikenal istilah zakat.



Perkembangan Asuransi di Indonesia [8]

Asuransi Jiwa Konvensional pertama kali di Indonesia adalah NILIMIJ yang didirikan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1859 M, kemudian pada tahun 1912 orang-orang pribumi Indoensia mendirikan OL-Mij yang pada hakekatnya hanyalah pengembangan dari NILIMIJ di atas. Ol-Mij ini akhirnya menjelman menjadi PT Asuransi Jiwa Bersama Bumi Putra. Sejak itu, maka asuransi-asuransi konvensional berkembang pesat hingga tahun 2005 telah tercatat sebanyak 157 perusahaan.Laju pertumbuhannya ( 1 % ) setiap tahunnya. Diantara asuransi jiwa yang ada adalah : American International Group Lippo ( Aig Lippo ), Asuransi Jiwa Eka Life, Asuransi Jiwa Indolife Pensiontama, Asuransi Jiwa Metlife Sejahtera, Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, PT. Asuransi Jiwasraya.

Adapun asuransi Syariah pertama kali di Indonesia baru muncul pada 24 Pebruari tahun 1994, yaitu Syarikat Takaful. Walaupun begitu, perkembangan asuransi Syariat jauh lebih pesat dari asuransi konvensional, ,karena sampai tahun 2005 telah tercatat 29 perusahaan, sehingga laju pertumbuhannya hingga ( 8 % ) dalam satu tahun. Bahkan kini menjadi 34 perusahaaan lebih.

Rata-rata asuransi Syariah yang disebut di atas, adalah jelmaan dari asuransi konvensional yang berpindah menjadi asuransi Syariat secara total atau memiliki dual programme, yaitu menjual produk-produk konvensional dan syariat dalam satu waktu . Yang benar-benar sejak awal didirikan menyatakan diri sebagai asuransi syariah adalah PT Asuransi Takaful Keluarga yang berdiri pada 4 Agustus 1994. Contoh-contoh lain dari perusahaan asuransi syariah adalah PT Asuransi Al Mubarakah yang berdiri pada tahun 1997 dan PT MAALife Assurance, adapun perusahaan asuransi konvensional yang mempunyai produk syariah adalah : PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia, PT Asuransi Jiwa Sinar Mas.*



Catatan Kaki:

[1] DR, Syekh Husain bin Muhammad al Malah, Al fatwa Nasyatuha wa Tathuwuruha, Hal. 909

[2] http://www.asuransicerdas.com/

[3] http://pojokasuransi.com

[4] Muhaimin Iqbal, Asuransi Umum Syariah dalam Praktik, hal : 2

[5] Keputusan Majma’ Fiqh al Islami, pada pertemuan pertamanya yang diadakan pada tanggal 10 – 17 Sya’ban 1398 H di pusat Rabithah al-Alam al-Islami, Makkah al-Mukarramah, dan Keputusan Hai’ah Kibaril Ulama di Kerajaan Saudi Arabia pada pertemuan ke sepuluh di kota Riyadh tanggal 4/4/1397 H, dengan SK nomor 51. Begitu juga keputusan Muktamar Majma’ al Buhuts al Islamiyah di Kairo, tahuan 1392/ 1972.

[6] Prof. Dr. Husain Husain Sahatah, Asuransi Dalam Prespektif Syariah, Hal. 9- 12 Majma’ Fiqh al Islami, pada pertemuan per-tamanya yang diadakan pada tanggal 10 Sya’ban 1398 M di Makkah al-Mukarramah di pusat Rabithah al-Alam al-Islami Majelis Kibaril Ulama di Kerajaan Saudi Arabia pada pertemuan ke sepu-luh di kota Riyadh tanggal 4/4/97 M, dengan SK nomor 55,

[7] Prof. Dr. Drs. M. Amin Summa, SH, MA, MM, Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional, Hal 60-65, Prof. Dr. Husain Husain Sahatah, Asuransi Dalam Prespektif Syariah, Hal. 163, Muhaimin Iqbal, Asuransi Umum Syariah dalam Praktik, hal : 2-5

[8] Prof. Dr. Drs. M. Amin Summa, SH, MA, MM, Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional, Hal 69-73

Sunday 17 February 2013

Bukan Cuma Densus 88 yang Dibubarkan, tapi Cabut Juga UU Terorisme!

Direktur JAT Media Center (JMC), ustadz Son Hadi menegaskan bukan hanya hanya Densus 88 yang harus dibubarkan namun Undang-Undang Terorisme juga harus dicabut.


Saat menghadiri Halaqoh Islam dan Peradaban (HIP) yang diselenggarakan HTI dengan mengusung tema “Bubarkan Densus 88!” ustadz Son Hadi mengungkapkan bahwa anggota DPR tak memiliki kepekaan masalah kemanusiaan. Pasalnya UU Terorisme saja sudah menjadi masalah, tetapi anggota DPR baru-baru justru mengesahkan RUU Pendanaan Terorisme.


“Ternyata anggota dewan (DPR-red.) kita tidak memiliki kepekaan dalam masalah kemanusiaan ataupun Hak Asasi Manusia. Karena baru saja mereka kemarin mengesahkan Undang-Undang Pendanaan terorisme,” ungkap ustadz Son Hadi, di Aula Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Kamis (14/2/2013).

...Undang-undang Terorisme saja sudah menjadi legalitas untuk seolah-olah terorisme itu menjadi labelisasi halal membunuh


Ustadz Son Hadi menilai, Undang-Undang Terorisme itu telah seolah menjadi label halal bagi Densus 88 untuk membunuh.


“Kita lihat dari fakta-fakta yang disampaikan, Undang-undang Terorisme saja sudah menjadi legalitas untuk seolah-olah terorisme itu menjadi labelisasi halal membunuh setiap orang,” ujarnya.


Sementara Densus 88 hanya merupakan alat yang menjalankan Undang-Undang tersebut. “Densus ini hanya alat saja yang menjadi masalah itu adalah Undang-Undangnya, karena Densus kalau ditanya jawabannya berdasarkan Undang-Undang,” imbuhnya.

...Bagaimana nanti kalau dengan Undang-Undang pendanaan itu mereka merampok siapa saja yang dianggap teroris


Hal ini nampaknya akan semakin diperparah dengan disahkannya RUU Pendanaan Terorisme menjadi Undang-Undang.


Sebab menurut ustadz Son Hadi, selama ini Densus 88 banyak mencuri uang terduga teroris, apalagi ditambah legalitas RUU Pendanan Terorisme mereka bisa merampok siapa pun yang dianggap teroris.


“Densus itu banyak mencuri uang terduga. Seperti Bahtiar ini membawa duit 10 juta ketika ditangkap, itu uang dagangan, uang tagihan sampai sekarang itu mungkin belum kembali. Bagaimana nanti kalau dengan Undang-Undang pendanaan itu mereka merampok siapa saja yang dianggap teroris,” jelasnya.

...Densus 88 dibubarkan itu harus, tetapi juga bagaimana umat Islam ini harus berusaha menolak dan mencabut Undang-undang Terorisme


Oleh sebab itu ia menyerukan umat Islam bukan hanya membubarkan Densus 88 tetapi juga menuntut pencabutan Undang-Undang Terorisme dan semacamnya.


“Esensinya, Densus 88 dibubarkan itu harus, tetapi juga bagaimana umat Islam ini harus berusaha menolak dan mencabut Undang-undang Terorisme karena yang menjadi akar masalah adalah Undang-undang Terorisme itu sendiri,” tutupnya.