Saturday 30 March 2013

Allahu Akbar! Selain Densus 88, Din Syamsudin Desak BNPT Dibubarkan

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin, MA, mendesak agar Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) diaudit aliran dananya dan dibubarkan.

Sebelumnya, Din Syamsudin bersama MUI dan pimpinan ormas-ormas Islam telah sepakat meminta Densus 88 harus dievaluasi, bahkan jika perlu dibubarkan.


“Kalau dari kami, ormas-ormas Islam, MUI kita sepakat saya kira Densus 88 itu harus dievaluasi, bila perlu dibubarkan. Tapi diganti dengan sebuah lembaga dengan pendekatan baru untuk bersama-sama untuk memberantas terorisme,” kata Din Syamsudin kepada wartawan di Mabes Polri, Kamis (28/2/2012).

...Sekaligus kita katakan tidak professional Densus 88 itu. BNPT itu tidak ada gunanya, dibubarkan saja


Ternyata, selain Densus 88, Din Syamsudin juga mendesak BNPT dibubarkan lantaran menurutnya institusi tersebut tak ada gunanya.


“Sekaligus kita katakan tidak professional Densus 88 itu. BNPT itu tidak ada gunanya, dibubarkan saja dan apalagi harus diaudit dananya, kemungkinan mendapat sumbangan dari luar negeri,” ungkap Din Syamsudin kepada wartawan di kantor PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (28/3/2013).


Lebih lanjut kata Din Syamsudin, BNPT kerap menyalahkan dan menyinggung perasaan umat Islam.


“Apa kerjanya BNPT itu? Hanya selalu ngomong, menyalahkan dan menyinggung perasaan umat Islam,” ujarnya.

...Apa kerjanya BNPT itu? Hanya selalu ngomong, menyalahkan dan menyinggung perasaan umat Islam


Selain menuntut pembubaran BNPT, ia juga meminta agar institusi yang bertanggung jawab kepada presiden melalui koordinasi Menkopolhukam itu diaselidiki aliran dananya.


“Dana-dananya itu patut diselidiki itu dari luar negeri. Jangan demi untuk melanggengkan terorisme dilakukan pendekatan-pendekatan seperti itu,” tandasnya.


Untuk diketahui, Komnas HAM, Senin (18/3/2013), dalam rekomendasinya saat konferensi pers hasil investigasi video penyiksaan yang diduga dilakukan Densus 88 juga pernah mendesak DPR agar mengaudit aliran dana yang digunakan dalam penanggulangan terorisme.


“Meminta DPR melakukan pengawasan terhadap penggunaan dana, baik yang dari APBN maupun dana bantuan luar negeri, yang digunakan dalam program penanggulangan terorisme” demikian rilis Komnas HAM yang ditandatangani Siane Indriani selaku Ketua Tim Pemantauan dan Penyelidikan Penanganan Tindak Pidana Terorisme.

Diskriminatif, Penyerangan Lapas dan TNI tak Disebut Terorisme

Menyikapi kasus penyerangan bersenjata yang menewaskan 4 orang di Lapas Cebongan, Sleman, Yogyakarta, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin, MA, menegaskan bahwa itu merupakan aksi terorisme.


Hal itu disampaikan Din Syamsudin saat menjawab pertanyaan wartawan, apakah aksi di Lapas Cebongan merupakan aksi terorisme.


“Ya seharusnya terorisme, jelas dong itu! Pada bab ini seharusnya polisi menurunkan Densus. Densus jangan hanya berani pada masyarakat, apalagi masyarakat Islam,” kata Din Syamsudin usai konferensi pers di Kantor PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, pada Kamis (28/3/2013).


Lebih lanjut, Din menjelaskan bahwa definisi terorisme saat ini sudah diperluas, namun mengapa ketika ada aksi penyerangan ke lambang negara seperti Lapas atau TNI di Papua tidak dikatakan aksi terorisme. Inilah yang menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah itu merupakan bentuk diskriminasi.


“Sudah diperluas definisi teroris itu! Mengapa kalau yang dituduh teroris yang kita tidak jelas karena sudah mati , seperti terjadi perampokan lalu dua hari lagi ditangkap kemudian ada yang mati, ini kan lagu lama. Sudah terbiasa kita, ketika terjadi apa-apa lalu dikembangkanlah ini isu terorisme jaringan ini dan itu.

Tapi, ada teroris nyata langsung ke lambang negara yang namanya Lapas, yang namanya TNI di Papua, polisi tidak mempersepsikannya sebagai teroris. Ini sungguh diskriminasi!” tegasnya

Wednesday 27 March 2013

Mengapa Polri Enggan Sebut Penyerangan Lapas Cebongan Terorisme?

Pihak aparat kepolisian enggan menyatakan bahwa aksi penyerangan Lapas Cebongan, Sleman, Yogyakarta yang menewaskan 4 orang tahanan dikatakan sebagai aksi terorisme.


Hal itu disampaikan Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Boy Rafli Amar saat ditemui di Hotel Maharaja, Mampang, Jaksel.


"Belum bisa, itu kan baru kemungkinan-kemungkinan. Nanti kita lihat dari fakta-fakta yang ada. Tentu kita belum sampai pada kapasitas bilang bahwa itu jaringan teroris atau siapa itu merupakan bagian analisis yang dibangun berdasarkan fakta yang kita peroleh," kata Brigjen Pol. Boy Rafli Amar seperti dikutip detik.com, Rabu (27/3/2013).


Menanggapi pernyataan Polri tersebut, Direktur Kontra Terorisme dan Kontra Sparatisme Pusat HAM Islam Indonesia (PUSHAMI), Muhammad Yusuf Sembiring, SH mengungkapkan tudingan terorisme seperti yang selama ini disampaikan BNPT hanya mengarah kepada kelompok Islam.


“Kalau pakai paradigma BNPT atau Densus 88, yang dikatakan terorisme itu ketika bicara agama tertentu yang dikatakan akan merusak kedaulatan NKRI. Arahnya kepada organisasi keagamaan ormas-ormas Islam. Jadi kalau mereka, umat Islam yang bergerak langsung dikatakan sebagai terorisme. Padahal Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin,” kata Yusuf Sembiring, Rabu (27/3/2013).


Lebih lanjut, ia memaparkan bahwa selama ini pada kenyataannya OPM yang melakukan gerakan bersenjata tak pernah dikatakan sebagai teroris.


Demikian pula penyerangan bersenjata yang membunuh 4 orang tahanan di Lapas Cebongan, Sleman, Yogyakarta juga tak akan dikatakan sebagai tindakan terorisme karena tidak ada embel-embel agama atau ormas Islam di dalamnya.


“OPM di Papua, meski sudah jelas-jelas dalam pemberitaan malakukan gerakan bersenjata itu tidak dikatakan terorisme. Padahal itu sudah membuat tidak nyaman kedaulatan NKRI. Nah, penyerangan ke Lapas juga sama, ini sudah membuat tidak nyaman NKRI. Ini pun aparat kepolisian di negeri kita tidak berani menyatakan ini tindakan terorisme. Karena tidak mengikutkan agama atau ormas Islam yang sering difitnah, itulah kebiasaan Densus 88 dan BNPT,” jelasnya.


Padahal, menurut Yusuf, aksi bersenjata tersebut telah menyerang kedaulatan negara, sebab Lembaga Pemasyarakatan berada di bawah Kementerian Hukum dan HAM dan para tahanan di dalamnya dilindungi oleh negara.


“Penyerangan Lapas ini jelas-jelas teror yang menyerang kedaulatan negara. Sebab orang-orang di Lapas itu meski ada orang-orang yang bersalah atau atau korban fitnah, mereka dilindungi negara. ini jelas terorisme siapa pun itu yang melakukannya!” tegasnya.


Oleh sebab itu, Yusuf menilai sudah seharusnya BNPT dan Densus 88 sebab di sinilah peran kedua institusi itu sebenarnya.


“Kalau menurut saya, apakah ini yang melakukan Kopassus atau siapa pun itu, seharusnya BNPT dan Densus 88 untuk turun langsung, ada apa ini? Karena kan ini peran mereka yang dibutuhkan di negeri ini,” tandasnya.

Tuesday 26 March 2013

Tiga Dampak Negatif Menggunakan Harta Haram

Di tengah menyeruaknya kasus mega korupsi akibat mekarnya gejala materialisme yang ditandai dengan sikap mempanglimakan harta dan jabatan, mari renungkan sejenak sabda Rasulullah, “Di antara yang aku khawatirkan atasmu sepeninggalku kelak adalah terbukanya untukmu keindahan dunia dan perhiasannya” (HR Bukhari dan Muslim).

Bukan berarti Rasulullah melarang usaha untuk mencari harta. Islam sendiri memberikan peluang kepada umatnya untuk mencari kekayaan dunia. “Dan carilah dari anugerah Allah kebahagiaan negeri akhirat, dan jangan melupakan bagianmu dari kenikmatan duniawi, dan berbuat baiklah kamu sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan jangan kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (Qs Al-Qashash: 77).

Kecintaan terhadap harta bahkan merupakan fitrah dari Allah (Qs Ali Imran: 14). Dan manusia mempunyai kecenderungan besar untuk mencintai harta (Qs Al-Adiyat: 8). Karena, sebagaimana ditegaskan Allah, harta memang perhiasan yang menyebabkan hidup manusia senang (Qs Al-Kahfi: 46).

Islam hanya memberikan warning agar manusia tidak menjadikan harta sebagai tujuan akhir (Qs Fathir: 5). Tujuan hidup sebenarnya adalah kepuasan ruhani yang mengantarkan pada kebahagian di akhirat. “Dan sungguh kehidupan akhirat lebih baik bagimu dari kehidupan dunia” (Qs Ad-Dluha: 4).

Musthafa As-Siba’i dalam ‘Isytiraqiyatu Al-Islam’ menjelaskan beberapa rambu agama dalam mencari harta. Pertama, tidak menggunakan cara jahat dan kejam (bi ad-dhulmi). Tidak ada agama di dunia yang membenarkan upaya mencari harta dengan cara merampok, mencuri, atau menyerobot hak orang lain.

Mencari harta dengan cara demikian juga ditolak oleh norma dan budaya masyarakat manapun. Dan termasuk kategori ini adalah menimbun barang atau kebutuhan pokok dengan tujuan menjualnya dengan harga mahal ketika terjadi kelangkaan. Lainnya, membajak karya seseorang atau mengutak-atik anggaran agar dapat mengeruk keuntungan sebesar mungkin.

Kedua, tidak menggunakan cara curang dan culas (bi al-ghasysyi). Dipastikan, tidak ada orang yang senang ditipu. Penipu sekalipun akan marah saat menjadi korban penipuan. Tetapi kesulitan hidup kerap membuat orang buta mata dan tuli telinga. Tidak sedikit orang sekarang yang begitu ‘kreatif’ dalam melancarkan penipuan.

Modusnya, mulai undian berhadiah, menjual daging gelonggong, mewarnai telur cokelat dengan cat putih, menjual bensin dicampur minyak tanah, membuat uang tiruan, memalsukan ijazah, dan serupanya. Tren mutakhir, mengumbar janji-janji manis demi sebuah jabatan politik, tetapi justru berkorupsi ketika sudah duduk di kursi jabatan itu.

Ketiga, tidak menggunakan cara yang merugikan dan membahayakan (bi al-idlrar). Berbisnis narkoba tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga orang lain dan lingkungan. Demikian pula bisnis perjudian, pelacuran atau jual-beli manusia (trafficking) sebagaimana marak belakangan.

Menjadi makelar kasus, kurir suap, dan hakim ‘pesanan’ juga masuk dalam kategori terakhir ini. Karena, mencari harta dengan cara demikian menimbulkan kerugian dan bahaya yang sangat fatal bagi diri sendiri, keluarga, bangsa, dan agama.

Berjuta cara bisa dilakukan untuk mendapatkan harta halal ketimbang harus menghalalkan segala cara. Bumi Allah terlalu luas asal manusia mau berdaya usaha. “Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagimu. Maka berjalanlah di segala penjurunya, dan makanlah sebagian rezeki Allah. Dan hanya kepada Allah kamu akan dikembalikan” (Qs Al-Mulk: 15).

Firman Allah di ayat lain, “Allah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal bisa berlayar padanya dengan seizin-Nya, dan supaya kamu dapat mencari karunia Allah. Dan mudah-mudahan kamu bersyukur” (Qs Al-Jatsiyah: 12).

Harus dicatat, tidak ada kebaikan yang lahir dari harta haram. Ali bin Abi Thalib menjelaskan beberapa dampak negatif dari harta yang diperoleh secara haram.

Pertama, melemahkan gairah ibadah (al-wahanu fi al-ibadah). Mungkinkah ada pegiat ‘dunia hitam’ yang beribadah secara ikhlas dan benar?

Mungkin sekali koruptor rajin melakukan shalat, bahkan pergi haji atau umrah ke Tanah Suci. Tetapi, yakinlah, ibadahnya itu sebatas kulit, tidak khusuk, sehingga tidak menembus jantung kemanusiaannya. Pelaku bisnis haram justru selalu dililit kesibukan. Hidupnya habis hanya untuk urusan kerja. Tidak ada waktu untuk beribadah, sehingga sangat rapuh saat kegagalan menimpa.

Kedua, harta haram akan menimbulkan kesumpekan hidup (ad-dloiqu fi al-ma’isyah). Dipastikan, pelaku kejahatan akan dilanda takut dan resah kalau-kalau perbuatannya itu ketahuan. Boleh jadi koruptor yang tertangkap mengumbar senyum dan melambai di depan kamera wartawan.

Tetapi perhatikan raut mukanya dengan seksama. Semua itu hanya gaya, citra. Jauh dalam lubuk hatinya ada galau dan was-was. Makan tidak terasa enak dan tidur tidak pulas, takut korupsinya semakin terbongkar oleh KPK, sehingga harta kekayaannya disita negara.

Ketiga, harta haram akan mengurangi kenikmatan (an-naqsu fi al-ladzdzat). Tidak ada ceritanya kebahagiaan dibangun di atas harta haram. Alih-alih menikmati harta, pemiliknya justru selalu gundah gulana dan merasa bersalah.

Bukankah tidak sedikit dijumpai pelaku kejahatan menyesal, bahkan menangisi kesalahannya? Pertama ditangkap senyum-senyum. Tetapi setelah beberapa kali berurusan dengan pengadilan, dia mendadak sakit. Baru tiga bulan menjadi tahanan, kondisinya merana. Jauh dari keluarga dan fasilitas rumah membuatnya tidak doyan makan. Hari-hari terpuruk, badannya menjadi kurus dan lemah.

Kaum beriman jangan sampai menggadaikan agama demi harta. Senantiasa mari langitkan setiap urusan dunia, agar kita termasuk yang dipuji Allah, “Orang-orang yang bisnis dan perniagaannya tidak sampai melalaikannya dari mengingat Allah, menegakkan shalat, dan membayar zakat. Mereka takut kepada hari dimana hati dan penglihatan menjadi goncang” (Qs An-Nur: 37).


Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya

IPW: Densus 88 harus Turun Ungkap Teror LP Cebongan

Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane menilai Detasemen Khusus (Densus) 88 antiteror perlu diturunkan untuk memburu belasan orang yang melakukan terror dengan menyerbu Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cebongan, Sleman, Yogyakarta, hingga menembak mati empat tahanan di dalam Lapas itu.


"Kecepatan untuk memburu, menangkap, dan mengungkapkan kasus ini sangat diperlukan. Agar masyarakat merasa nyaman dan tidak berada di bawah bayang-bayang ketakutan akibat teror penyerbuan tersebut," kata Neta S Pane melalui siaran persnya, Selasa (26/3/2013).


Menurutnya, hal itu penting agar ada kepastian hukum di negeri ini, sehingga pihak-pihak tertentu tidak seenaknya membunuh orang yang tidak disukainya, meski orang tersebut sudah ditahan.


Ia juga menilai, hal ini sangat mudah bagi Polri untuk mengungkap kasus penyerangan ke Lapas Sleman. Sebab elit-elite TNI sudah memastikan bahwa tidak ada oknum TNI yang terlibat dalam peristiwa tersebut.


"Dengan demikian Polri tidak perlu 'ewuh pakewuh' lagi untuk segera memburu dan menangkap pelaku penyerangan. Dalam mengungkap kasus ini Polri pun tak perlu melibatkan TNI karena oknum TNI tidak terlibat," pintanya.


Menurut Neta, selama ini Densus 88 sangat piawai dalam memburu, menangkap dan mengungkap kasus-kasus terorisme. Untuk itu Polri perlu segera menugaskan Densus 88 dalam menangani kasus terror Lapas Cebongan di Sleman.


"Sikap profesional Densus 88 tentu dipertaruhkan dalam menuntaskan kasus yang sudah mendapat perhatian internasional ini," katanya.

FUI: Penembakan di LP Cebongan aksi teror tapi Densus 88 tak bersuara

Sekjen Forum Umat Islam (FUI), KH. Muhammad Al-Khaththath menyayangkan sikap pemerintah yang tidak sigap dalam mengungkap aksi teror pembantaian terhadap 4 tahanan di LP Cebongan, Sleman Yogyakarta.

Biasanya aparat kepolisian begitu cepat mengungkap kasus penembakan dengan mengerahkan anggota Densus 88. Namun, kali ini peran Densus 88 yang menurut Kepala BNPT, Ansyaad Mbai dipuji-puji dunia internasional itu seolah tak bersuara.

“Kalau pemerintah benar-benar beritikad baik ingin memberantas terorisme, sebenarnya yang kemarin terjadi di Jogja itu kan yang benar-benar teroris, harusnya itu yang ditangani oleh Densus, tapi kok ngga ada bunyinya Densus itu?” kata KH. Muhammad Al-Khaththath usai menjadi pembicara Semalam Bersama Dewan Dakwah, Sabtu (23/3/2012).

Sikap aparat kepolisian, dalam hal ini Densus 88 jauh berbeda jika diduga pelaku adalah umat Islam. Di Makassar dan Bima misalnya, mereka langsung ditembak mati.

“Tapi kalau kita lihat yang di Makassar, Dompu, Bima itu kan mereka penjual kue, masa tiba-tiba dibunuh lalu dibilang teroris? Ini suatu kebohongan yang nyata,” tandasnya.

Menurut Sekjen FUI tersebut, aksi penyerangan LP Cebongan dengan menggunakan senjata laras panjang dan membunuh 4 orang tahanan titipan, salah satunya diketahui anggota polisi jelas bias dikategorikan aksi terorisme.

“Jelas-jelas mereka sudah membunuh bahkan polisi lagi yang dibunuh, itu teror kepada seluruh instansi kepolisian. Artinya itu pesan kepada seluruh polisi; Awas loh macem-macem sama korps gue, bisa gue bantai! Jadi kalau aksi teroris yang seperti itu harusnya dilakukan penindakan,” paparnya.

Kronologi Kasus Penyerangan Lapas Cebongan

Untuk diketahui, Direktur Keamanan dan Ketertiban (Dirkamtib) Ditjen Pemasyarakatan Kemkumham, Wibowo Joko menjelaskan bahwa penyerangan Lapas Sleman pada Sabtu (23/3) dini hari diduga bermotif dendam. Diperkirakan, tewasnya salah satu anggota Kopassus, Sertu Santoso, dalam kasus pengeroyokan di Hugo’s Cafe, pada Selasa (19/3/13) menjadi pemicu penyerangan.

“Jadi peristiwa itu disebabkan kejadian beberapa hari lalu ada keributan di Cafe Hugo oleh empat orang. Salah satu dari mereka anggota polisi. Namun seorang anggota Kopassus. Ia melerai keributan itu, tetapi ia meninggal karena ditusuk,” kata Wibowo di Jakarta, kepada wartawan di Jakarta , Sabtu (23/3/13).

Namun, keempat orang yang membuat keributan ditangkap polisi dan ditahan di Lapas Sleman. Salah satu yang ditahan adalah Johannes Joan Manbait, yang belakangan diketahui sebagai anggota polisi.

“Usai peristiwa tersebut sejumlah orang mencari siapa yang menusuk. Setelah itu, ketemu empat orang, salah satunya Johannes Joan Manbait. Dititip ke lapas, Jumat (22/3) siang, kemudian dini hari tadi pukul 00:30 WIB lapas diserang,” katanya.

Menurutnya, penyerangan itu sebelumnya terjadi ketika seseorang tidak dikenal mengetuk pintu lapas untuk kordinasi dengan tahanan. Tetapi karena pintu tidak dibuka oleh petugas lapas, oknum berpakaian preman tersebut mendesak untuk bertemu dengan kepala keamanan sebelum memasuki ruang CCTV untuk menghilangkan alat bukti.

“Saat datang kepala keamanan kemudian kepala keamanan ditendang dan dibanting. Setelah itu muncul 20 orang. Dan kelompok itu pergi membawa petugas ke penyimpanan kunci dan ruang CCTV dan dirusak,” terang Wibowo.

Wibowo menyebutkan di antara mereka ada yang membawa senjata AK47 yang beberapa kali ditembakkan ke udara. Mereka menginginkan lokasi blok ditahannya empat orang pelaku pembunuhan Sertu Santoso.

“Blok A5 diisi 38 tahanan, empat di antaranya tahanan yang dititip dari Polda. Diperkirakan membawa AK 47 yang diberondong ke atas. Empat orang dari Polda itu disuruh berbaris terpisah lalu ditembak dan meninggal semua. Lalu dibawa ke RSUP Dr. Sardjito,” ungkapnya.

Monday 25 March 2013

FUI: Densus 88 harus Diqishash atau Bayar Diyat untuk Keluarga Korban

Sekjen Forum Umat Islam (FUI), KH. Muhammad Al-Khaththath mengungkapkan, sudah sejak lama FUI menyuarakan pembubaran Densus 88 yang telah meresahkan umat Islam.


Bahkan, FUI pernah melakukan class action terhadap Densus 88 di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.


“Sudah lama sebenarnya Forum Umat Islam menyerukan pembubaran Densus, bahkan dulu kita bersama ustadz Abu Bakar Ba’asyir pernah melakukan class action di PN Jakarta Selatan. Tapi mungkin karena hakimnya takut sama Densus,” kata KH. Muhammad Al-Khaththath usai acara Semalam Bersama Dewan Dakwah, di Masjid Islamic Center, Bekas, Sabtu (23/3/2013).


Maraknya tuntutan pembubaran Densus 88 yang kembali disuarakan ormas-ormas Islam saat ini, menurut ustadz Khaththath harusnya membuat SBY sadar kezaliman Densus 88.


“Sekarang ini ada tuntutan lagi pembubaran Densus, mestinya SBY harus nyadar,” ujarnya.


Ustadz Khaththath juga mengungkapkan, jika tuntutan pembubaran Densus ini adalah tuntutan tertinggi.


“Densus ini harus diperbaiki SOPnya supaya tidak melakukan tindakan yang melanggar HAM. Tuntutan pembubaran itu sebenarnya tuntutan tertingginya,” jelasnya.


Di sisi lain, jika ditinjau menurut syariat Islam, seharusnya Densus 88 yang melakukan pembunuhan terhadap umat Islam harus diqishash atau membaya diyat jika pihak keluarga korban menyetujuinya.


“Kalau dalam Islam itu membunuh kan diqishash, kalau tidak diqishash alternatifnya adalah diyat atau ganti rugi yang bisa ditanyakan kepada keluarga korban. Satu korban itu nilainya seratus ekor unta dengan empat puluh diantaranya unta yang hamil. Kalau menggunakan uang itu nilainya seribu dinar atau sekitar 2,5 miliar,” tandasnya.

Giliran Anak Pejabat Cuma Divonis 5 Bulan Penjara

Enak betul jadi anak pejabat. Giliran rakyat kecil berbuat salah, diberikan hukuman berat, sedangkan anak pejabat cuma divonis 5 bulan, itu pun tidak dikurung penjara. Hukum di negeri ini betul-betul sudah jomplang dan sangat tidak adil. Menyedihkan!

Kemarin, Senin (25/3/2013) Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur menjatuhkan vonis lima bulan penjara dengan masa percobaan enam bulan kepada Rasyid Amrullah Rajasa, putra dari Menteri Perekonomian Hatta Rajasa itu tidak akan dikurung penjara. Demikian dikatakan Ketua Majelis Hakim Suharjono dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur.

"Rasyid Amrullah Rajasa bersalah melakukan tindak pidana mengendarai kendaraan bermotor yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas, korban meninggal dunia dan luka berat serta kerusakkan kendaraan dan atau barang," kata Hakim Suharjono.

Seperti diberitakan sebelumnya, Rasyid Rajasa sempat dituntut 8 bulan penjara dengan masa percobaan selama 12 bulan penjara akibat tabrakan maut yang terjadi 1 Januari 2013 lalu antara BMW X5 dan Luxio yang diketahui merupakan angkutan umum gelap.

Dalam insiden tersebut mobil mewah yang ditungangi Rasyid menabrak Luxio dari arah belakang. Dalam kecelakaan itu, dua penumpang Luxio tewas setelah terlempar keluar dari mobil, yaitu Harun, 57 tahun, dan seorang balita, Muhammad Raihan, 14 bulan. Selain itu, tiga orang lainnya mengalami luka-luka, yaitu Enung, Supriyati, dan Rifai.

Padahal terdakwa Rasyid dijerat dengan dua pasal yakni pasal 229 ayat 4 UU LLAJ yang berisi tentang kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban meninggal dunia dan pasal 310 ayat 4 UU tentang kecelakaan lalu lintas akibat mengendarai kendaraan dengan lalai dan subsider pasal 310 ayat 3. Ancamanmya adalah enam tahun penjara.

Majelis Hakim menegaskan, terdakwa hanya divonis 5 bulan penjara dan itu pun tidak akan menjalani kurungan penjara. Namun, katanya, jika dalam waktu enam bulan terdakwa melakukan kesalahan yang sama, maka akan dijatuhi bersalah dan menjalani kurungan penjara. Terdakwa menurut Suharjono juga dihukum membayar denda Rp 12 juta.

Menurut Suharjono, majelis hakim menerapkan pasal 14a KUHP tentang Pidana Bersyarat. Dijelaskannya, dalam perkara ini, ada prinsip teori hukum restoratif justice dalam putusan hakim sehingga setimpal dengan perbuatan Rasyid. Teori ini menyebutkan adanya unsur pertanggungjawaban terdakwa dan keluarga kepada korban. Sementara itu, hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa tidak patut di contoh oleh para pengendara kendaraan bermotor.

Jaksa Penuntut Umum mengatakan masih mempertimbangkan keputusan hakim tersebut. Salah satu Jaksa Penuntut Umum, T.Rahman usai persidangan mengatakan, tim jaksa penuntut umum diberi waktu tujuh hari untuk menyatakan sikap atas vonis hakim. Terkait vonis bersyarat dari majelis hakim sehingga Rasyid tidak menjalani lima bulan penjara, Rahman memastikan putusan itu adalah kewenangan dari majelis hakim.

Wednesday 20 March 2013

Kekejaman Densus 88 bukan desas-desus

Sebuah tim telah dikirim ke Poso untuk memverifikasi isi video yang beredar. Kesimpulannya, video itu benar adanya.

VIDEO berisi kekejian aparat berbaju Polisi terhadap orang yang sudah menyerah, tampaknya menjadi titik awal dari hembusan besar pembubaran Densus 88 Anti Teror. Video yang pernah ditayangkan oleh Forum SOLI (Silaturohmi Organisasi dan Lembaga Islam) Tingkat Pusat Pimpinan Din Syamsuddin di depan Kapolri Jenderal Polisi Timur Pradopo itu, tampaknya bukan video kejutan bagi Korp Baju Coklat. Pasalnya, di YouTubevideo yang serupa sudah diunggah oleh beberapa nickname bahkan beberapa tahun sebelum Din Syamsuddin menunjukkan video tersebut kepada Kapolri Jenderal Polisi Timur Pradopo belum lama ini. Pantesan saja, ketika video tersebut diputar di hadapan Timur, beberapa pejabat teras Mabes Polri yang ikut dalam audidensi, terdengar bisik-bisik. Intinya, pejabat teras Mabes Polri sudah mengetahui isi video bedurasi 13:54 menit ini.

Fakta lainnya, meski Din Syamsuddin baru sekarang mendatangi Kapolri, tetapi kasus yang terekam di Video, ternyata pernah dilaporkan oleh Komnas HAM tahun 2007 silam. Wakil Ketua Komnas 2002-2007 HAM Zoemrotin K Susilo, yang saat itu menjadi Ketua Tim Pemantau Poso, usai persitiwa sadis tersebut dengan sangat keras memperingatkan Polisi agar tidak serampangan menembak orang yang belum tentu bersalah. Tidak hanya kejadian pada 22 Januari 2007 seperti yang ada di video yang beredar, namun Komnas HAM waktu itu juga menyoroti 3 kasus kekerasan lainnya yaitu kasus Tanah Runtuh (22 Oktober 2006), serta penyergapan buronan konflik Poso (1 Januari 2007). Dari seluruh peristiwa ini, dicatat ada 15 orang yang dinyatakan tewas.

Apakah video itu yang kemudian menjadi latar belakang Din Syamsuddin dan kawan-kawan menuntut pembubaran Densus 88? Tampaknya bukan.

Jika hanya video tersebut yang menyebabkan Din Syamsuddin Cs tergerak hatinya menemui Kapolri, sangatlah keliru. Video ini, sebenarnya hanya sebagai pembuka pintu dari sekian banyak bentuk kekerasan HAM oleh Densus 88. Sebelumnya, sudahlah banyak laporan yang masuk, terkait kekejaman Densus 88. Banyak korban salahtangkap yang menemui banyak ormas Islam, maupun Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan menceritakan banyak pengalaman keji yang diterima saat ditangkapi Densus 88 meski tidak bersalah. Dalam kondisi cacat seumur hidup, para korban salahtangkap itu bersaksi dan tidak ada yang bisa menutupi fakta ini. Tidak hanya korban salahtangkap. Tidak sedikit operasi Densus 88 yang berlangsung penuh dengan kejanggalan dan sarat dugaan rekayasa.

Jika awalnya hanya menembak teroris, dan meringkus terduganya, namun belakangan lebih ganas. Terduga pun, sudah ditembak mati. Jika semula yang ditembak adalah teroris yang beridentitas pasti, namun kini Densus mulai menembaki orang yang diduga teroris tanpa identitas yang jelas. Anehnya, meski sudah ditembak mati, ternyata Densus sendiri tidak mengenal yang ditembaknya. Akibatnya, jenasah terduga teroris diinapkan berminggu-minggu di Rumah Sakit hanya untuk menunggu kepastian identitas dari keluarga yang mungkin menjenguknya. Jika tidak ada yang menjenguknya, jenasah-jenasah tersebut dikubur begitu saja di pemakaman.

Jika semula Densus hanya menembak terduga teroris di tempat yang dianggap pantas untuk dilakukan penembakan, tapi kini sudah mulai tidak ada tempat yang dihormati lagi. Di Masjid, Densus pun tidak sungkan menembak, menyeret, dan mengeksekusinya tanpa mempertimbangkan dimana aksi brutal itu dilakukan. Belakangan, orang yang telah ditembak mati ternyata hanya pembezuk pasien Rumah Sakit.

Jika semula barang bukti terorisme hanya benda-benda terkait teror, namun kini mulai sadis dan bernuansa SARA. Al Qur’an, Kitab Tafsir Qur’an, CD Dakwah, sudah dijadikan barangbukti terorisme. Jangan-jangan nanti Masjid dan mimbar Masjid juga diangkut dan dilabeli dengan “Barang Bukti” terorisme. Jangan lagi bertanya, kira-kira bagaimana cara aparat memperlakukan barangbukti-barangbukti tersebut.

Sebuah foto yang tertera tahun 2009 di Surabaya, aparat gabungan TNI dan Polri, bahkan tak segan melakukan simulasi penangkapan teroris di dalam Masjid, di atas sajadah di depan Mihrab. Yang menyedihkan, aparat-aparat ini tidak satupun melepas sepatu lars-nya. Di Surabaya juga, tidak lama kemudian, kembali diadakan simulasi penangkapan teroris di atas kereta yang berjalan. Selain dipenuhi teriakan takbir oleh ‘teroris’, juga diletakkan sebuah kotak bertuliskan “Jihad Fi Sabilillah” yang disimulasikan berisi bom untuk dijinakkan. Miris.

Intinya, saat ini Densus hanyalah bekerja sebagai penjinak tanpa mau tahu akar persoalannya. Lebih mengerikan, tiba-tiba saja banyak buron yang didaftar dan dirilis di seluruh pelosok tanah air. Sebagian buron itu, sudah ditangkap, dibunuh dan sebagian lagi ditangkap dan konon menyebut nama-nama baru yang otomatis menimbulkan daftar buron panjang tak habis-habisnya. Apakah proses menangkap, menyidik, dan mengantarkan para terduga teroris ini transparan? Tentu tidak. Masyarakat hanya bisa memantau prosesnya melalui media massa. Tragisnya, seluruh media massa hanya bisa mengorek informasi dari satu sumber: Kepolisian. Jika sudah demikian, informasi media sangat kecil kemungkinan akurat. Keterangan-keterangan keluarga korban yang mestinya menjadi penyeimbang informasi polisi, ternyata tidak menjadi faktor dominan pendukung berita terorisme.

Sebagai catatan, istilah buron memang misterius. Tidak ada yang bisa memastikan, kapan munculnya istilah buron ini berawal. Jika yang dimaksud buron adalah berawal dari Kasus Konflik Poso, maka tidak mungkin kemudian seluruh daftar buron saat ini tiba-tiba beragama Islam. Kenapa? Karena Konflik Poso bukanlah konflik Islam-Islam. Namun, konflik tersebut terjadi karena terlibatnya para militan dua pemeluk agama berbeda. Jika kemudian berakhir dengan munculnya banyak buron yang beragama Islam saat ini, tentulah fenomena sadis ini patut dipertanyakan lebih lanjut. Sayangnya, kepada pihak-pihak yang mengkritisi fenomena ini, akan dicap sebagai pendukung teroris.

Apabila buron ini terkait DI/TII atau NII KW 9, jelaslah salah alamat. Pondok Pesantren yang terus menerus dituduh menjadi sarang NII KW 9, sampai sekarang masih berdiri megah di Indramayu. Tak sekalipun disambangi Densus 88. Sayangnya, media tiba-tiba menjadi tumpul untuk melihat kenyataan itu.

Jika para buron ini benar ada dan murni buron karena kejahatan terorisme global, maka sekarang ini terduga teroris kebanyakan usia muda dan memiliki ciri wajah yang khas: kampungan, tidak berpendidikan cukup, dan sebagian tidak pernah ikut perang ke Afganistan atau bahkan tidak pernah berjihad di Poso ketika terjadi Konflik Poso.

Jika boleh, mari kita mundur ke belakang. Ribuan pemuda Muslim tahun 80-an, menurut sebuah sumber, ternyata direkrut oleh Amerika untuk dilatih di Carolina Utara. Sebagian dari mereka adalah berasal dari Indonesia. Setelah lulus, mereka kemudian dikirim ke Afganistan untuk berjihad melawan Soviet. Dari Indonesia, adalah Letjen TNI L.B Moerdani, Kepala Badan Intelijen Strategis ABRI yang mengkoordinir para Mujahidin ini.

Sebagian dari veteran Mujahidin inilah yang kini diburu Densus 88 pasca runtuhnya Gedung Kembar WTC pada 11 September 2001 silam. Entah bagaimana ceritanya, veteran Mujahidin ini, tiba-tiba banyak dikabarkan memiliki senjata api. Memiliki bom, memiliki save house, memiliki jaringan, dan memiliki keterkaitan dengan Osama Bin Laden. Mereka dikabarkan sangat kuat, menguasai banyak senjata api dan bahan peledak. Padahal, tidak mudah mendapatkan barang-barang berbahaya ini, kecuali yang memiliki kedekatan dengan aparat sendiri.

Hal itu, bisa dibuktikan. Sekedar catatan pengingat, ternyata sebagian senjata para terduga teroris itu, belakangan diektahui justru berasal dari gudang Mako Brimob Kelapa Dua. Berasal dari tangan aparat. Malah, para teroris pernah dilatih menembak di lapangan Brimob. Lalu, mereka disuruh berlatih di Aceh, dan direkam untuk dijadikan bukti adanya latihan mirip militer! Salahsatu inisiator nya, ternyata eks Brimob. Inilah fakta-fakta yang cukup mengkhawatirkan.

Yang lebih nyata, dengan dibentuknya Densus 88 pada 24 Agustus 2004 hingga sekarang, kenyataannya bukannya teroris berkurang, namun justru sebaliknya memunculkan lebih banyak teroris. Aroma rekayasa kasus pun mulai tercium seiring berjalannya waktu. Sebagian awak media mulai menyadari akan adanya fakta yang tidak beres dan tidak nyata pada Densus 88.

Dan yang lebih aneh, fakta yang kini bisa dilihat bersama-sama, ternyata Densus hanya bisa membunuh dan menyiksa terduga teroris Muslim. Sedangkan terhadap teroris yang Non Muslim, senjata api Densus tiba-tiba saja macet, tiba-tiba mogok. Tidak bisa menyalak.

Bagaimana logikanya, sehingga Densus bisa memilih sasarannya yang hanya beragama Islam? Tampaknya ini tidak lazim. Aksi seperti itu, berpotensi banyak melanggar HAM berat dan pembasmian golongan tertentu.

Jika sudah demikian, apa tidak lebih baik Densus dibubarkan saja terlebih dahulu?#

Yusril Salahkan Densus 88, tapi tak Salahkan UU Terorisme

Mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra membantah undang-undang terorisme yang dibuat pada saat ia menjabat memiliki kesalahan diantaranya kelonggaran aturan interogasi.




Menurut Ketua Majelis Syuro Partai Bulan Bintang (PBB) ini, anggapan kelonggaran aturan interograsi yang bisa diterjemahan Densus 88 sebagai penyiksaan bukan salah undang-undang, tetapi penerapan di lapangan oleh Densus sendiri.




“Gak ada yang salah dalam undang-undangnya. Gak ada yang perlu diuji materi. Kalau memang terjadi penyiksaan itu masalah penerapan saja. Itu perilaku mereka (Densus) yang salah,” kata Yusril saat seperti dilansir Republika, Selasa (19/3/2013).




Yusril mengatakan, undang-undang terorisme itu awalnya adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) untuk mengatasi masalah bom bali pada 2001. Yusril mengaku menyusun aturan-atruan itu dengan cara yang paling aman dan sangat menjunjung tinggi HAM.




Soal pemeriksaan dan interograsi pun, tetap mengacu kepada KUHAP. Sehingga, ia menegaskan bahwa dalam undang-undang tidak mungkin ada kelonggaran yang membuat pihak penegak hukum melakukan penyiksaan.




Untuk diketahui, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah selesai melakukan sebuah investigasi pada video dengan aksi kekerasan yang diduga dilakukan Detasemen Khusus (Densus) 88. Video berdurasi delapan menit ini menampilkan adegan penyiksaan sejumlah oknum Polri saat melakukan penangkapan terduga teroris pada tahun 2007.




Hasilnya, Komnas HAM menegaskan, oknum aparat keamanan yang berada dalam video tersebut adalah Densus 88. Kesimpulan dari Komnas HAM ini sektika mematahkan pernyataan Polri yang menegaskan dalam video tersebut tak ada anggota Densus 88 yang terlibat.

Terkait Undang Undang Terorisme, sebelumnya Ketua MUI Pusat, KH Amidhan menyatakan sedang mengevaluasi Undang Undang Terorisme termasuk Undang Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

Ia tak ingin Undang Undang tersebut diterapkan secara diskrimintif untuk menjerat kelempok tertentu.




“Kalau ada Undang Undang yang diskriminatif itu pelanggaran HAM. Sekali lagi saya kemukakan, kalau ada Undang Undang yang diskriminatif terhadap umat itu pelanggaran HAM,” tegas KH. Amidhan pada Kamis (28/3/2012).

Tuesday 19 March 2013

Perampok Tambora Teroris? Sebuah Upaya Dramatisasi & Stigmatisasi

Di tengah sorotan tajam terhadap eksistensi Densus 88 dan kasus korupsi Simulator SIM di Korlantas Mabes Polri, munculah suguhan sebuah berita perampokan di siang bolong.

Tepatnya di toko emas Terus Jaya milik Siang Khu Lie di jalan Tubagus Angke, Tambora, Jakarta Barat pada minggu (10/3-2013). Sebelum perampokan, sempat juga muncul kasus ledakan bom low eksplosive di kawasan Cipete Jakarta Selatan (11/3) tengah malam diruas jalan depan rumah Kapolda Kalteng.

Mengakibatkan 3 orang luka saat melintas di tempat kejadian. Namun kasus ini tidak seheboh perampokan, kenapa demikian? Karena paska perampokan kemudian berlanjut usaha penggrebekan komplotan perampok.

Titik menariknya karena disaat pengrebekan selain telah menewaskan 3 orang tersangka tapi juga ditemukan barang bukti yang “mengangetkan”. Dari para tersangka yang tewas teridentifikasi;


1.Makmur alias Bram (34) asal Padang tewas di teluk Gong Jakarta Utara,yang di duga terlibat perampokan CIMB Medan (2010). Dan juga terkait dengan bom Beji-Depok.


2. Arman (40) asal Padang tewas di Mustikajaya Bekasi


3.Kodrat alias Polo tewas di Pondok Aren Tanggerang Selatan, yang di duga sebagai amir (komandan) kelompok ini.


Dan 4 orang lainnya ditangkap dalam kondisi hidup;


1.Hendra Hermalan (44) asal Jakarta di tangkap di Mustika Jaya Bekasi


2.Siswanto(38) asal Tegal


3.Togog alias Anto (33) asal Jakarta di tangkap di wilayah Kapuk Muara Jakarta Utara


4.Kiting di tangkap di wilayah Pekayon, Bekasi Selatan,Kota Bekasi


Dan ada satu orang yang ditangkap tapi tidak di ekspos adalah Edi Novian, pemilik dari gudang tempat pengrebekan yang berada di Mustika Jaya Bekasi. Jadi total yang di tangkap hidup dan mati adalah 8 orang, dan versi Polri masih ada satu lagi DPO dengan inisial “F”.


Bukti “mengangetkan” yang dimaksud adalah ditemukan barang bukti; 5 pucuk senjata rakitan jenis UZI, 34 peluru kaliber .9 mm, dua sepeda motor, dan ditemukan 14 bom pipa, emas barang bukti 1 kg. Ini berdasarkan versi keterangan Kapolda Metro Jaya Putut Eko Bayuseno.


Kemudian berdasarkan identifikasi awal terhadap pelaku dan BB (barang bukti) terutama Bom dan Senpi, meluncurlah dengan cepat justifikasi pelaku perampokan adalah teroris. Dan satu orang dijadikan link justifikasi, yaitu Makmur (tewas) karena dia diduga terkait dengan perompokan CIMB Medan Sumut (2010) dan kasus Bom Beji-Depok (2012).

Dimana perampokan CIMB saat itu oleh Mabes Polri dan BNPT dilabeli aksi terorisme, upaya penggalangan dana alias fa’i untuk modal aksi-aksi terorisme berikutnya.Dan perampokan Tambora kali ini juga sama statusnya seperti CIMB Medan, dikatakan pihak Polri sebagai fa’I untuk kepentingan aksi terorisme.

Jadi meminjam penjelasan kadivhumas Mabes Polri irjen Suhardi Alius;”Sudah di pastikan bahwa ini memang aksi terorisme.Tujuan mereka merampok adalah mencari dana operasi”,(lihat Jawa Pos,17/3/2013).


Bahkan lebih jauh kemudian dikaitkan dengan jaringan Abu Umar, dan 14 bom itu disiapkan untuk meledakkan sejumplah kantor Polri dan TNI berdasarkan pengakuan dari 4 tersangka yang hidup. (lihat harian kompas,17/3/2013).


Segendang seirama, selain Kabakreskrim Mabes Polri Sutarman mengeluarkan pernyataan siang hari di TKP penggrebekan bahwa ini kelompok teroris. Juga Ansyaad Mbai (BNPT) lebih “heboh” lagi, ia berujar; "Iya itu terkait jaringan teroris lain. Satu orang dari yang ditangkap itu buronan perampokan CIMB Medan tahun lalu,". Lebih lanjut ia menyatakan;”Mereka terkait juga dengan kelompok Solo, Beji, Poso, Makassar. Mereka memang bagian jaringan besar,"kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ansyaad Mbai, (detik.com, 16/3/2013).


Link Justifikasi dan Keterkaitan


Menurut saya (penulis) perlu kita cermati kasus ini, karena cukup “menarik” bagaimana bisa kasus kriminal perampokan yang konsekuensi hukum diberlakukan KUHAP kemudian berubah menjadi tindak pidana Terorisme yang konsekuensinya akan diberlakukan UU No. 15 Tahun 2003.

Dan dua point penting yang menjadi “link” justifikasi terorisme, yaitu seorang bernama “Makmur” yang di tuduh terlibat perampokan bank CIMB Medan dan bom Beji-Depok. Berikutnya ditemukannya bom rakitan dan senpi.


Perlu kiranya kita menoleh sedikit kebelakang 3 kasus yang dikait-kaitkan;


Pertama; perampokan bank CIMB di Medan-Sumut pada 18 Agustus 2010. Sekitar jam 11.30 wib Bank CIMB Niaga yang berada di jalan Aksara-Medan disatroni perampok yang berjumlah kurang lebih 12 orang. Membobol Bank hingga Rp 400 juta dengan membawa senjata AK47, M16 (hasil rampasan dari Brigadir Imanuel Simanjuntak yang tewas),dan pistol FN. Bahan identifikasi pelaku dari CCTV dan foto hasil jepretan seorang warga keturunan.


Yang menarik, dalam berbagai kesempatan, Kapolda Sumetera Utara saat itu Irjen Pol Oegroseno selalu menegaskan bahwa kelompok yang disergap anakbuahnya adalah kelompok perampok. Dan kepada penulis dalam satu kesempatan diskusi juga ditegaskan bahwa kasus ini adalah kasus perampokan biasa. Para tersangka bukan anggota kelompok teroris.


Kedua; tewasnya 5 orang di Bali karena di duga hendak merampok, dan perampokannya akan dipakai untuk aksi terorisme. Jadi 5 orang tersebut tewas ditembak dengan alasan kasus terorisme. Dan ini muncul Di tengah suhu politik mulai memanas karena rencana kenaikan harga BBM, publik dibuat terkejut dengan tewasnya 5 orang ditangan Densus 88 pada hari minggu (18/3/2012) di dua tempat yang berbeda di Jl Gunung Sapotan Denpasar dan di Jl Danau Poso Sanur Denpasar. Tindakan Densus 88 mendapatkan pembenaran dari bos BNPT (Ansyaad Mbai) usai melakukan rapat bersama Komisi III di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (19/3/2012)."Kami tidak salah tembak dan kelima orang tersebut benar-benar teroris," tegas Ansyaad.(RMOL 19/3/2012)


Dan 5 pelaku jaringan teroris versi BNPT itu adalah HN (32) asal Bandung DPO perampokan CIMB Medan, AG (30) warga Jimbaran. Keduanya disergap di kawasan Gunung Soputan. 3 Orang lainnya yakni UH alias Kapten, Dd (27) asal Bandung, dan M alias Abu Hanif (30) asal Makasar mereka disergap di kawasan Jalan Danau Poso.Yang menarik, saat itu Kabid Humas Polda Bali Kombes Hariadi mengatakan, kelima orang yang tewas ditembak datang ke Bali bukanlah teroris. Melainkan murni perampokan. Di sela olah tempat kejadian perkara, menurutnya mereka bakal beraksi di kawasan Kuta dan Uluwatu.(lihat Liputan6.com, 19/3/2012)


Ketiga; terjadi ledakan bom di Tambora Jakarta Barat 6 September 2012 kemudian disusul kejadian berikutnya ledakan bom 8 September 2012 di Beji-Depok. Dari sana munculah nama M Thorik, sebagai lakon kunci untuk mengungkap kasus ledakan tersebut yang dihari-hari berikutnya di labeli dengan jaringan teroris poros Solo-Tambora-Depok dan dikaitkan dengan Abu Umar.Banyak orang ditangkap oleh Densus 88 terkait kasus Tambora dan Beji-Depok.Dan di TKP banyak di temukan bahan meracik bom serta beberapa senpi dan amunisi.


Menelisik Jejak “Link” kunci


Pertanyaan kuncinya; benarkah Makmur terkait kasus CIMB Medan dan Beji-Depok? Mengingat nama Makmur sebelumnya tidak pernah muncul pada kasus-kasus tersebut. Tapi saat ini menjadi link kunci untuk dijadikan dasar justifikasi perampokan Tambora adalah aksi terorisme.Lebih-lebih dengan adanya bom, sebagai salah satu diantara parameter “resmi” bagi Densus 88 untuk menilai sebuah kelompok atau individu itu teroris atau tidak (ambivalen dengan kasus kelompok OPM). Kita bisa menelisik dari 3 kasus masa lalu, adakah nama Makmur sebagai DPO disana? Rincian data penulis (hasil investigasi ke Medan tahun 2010) masih bisa terbaca dengan baik.


Untuk kasus CIMB Medan, pihak Polri (khususnya Densus 88) telah menangkap hidup dan mati lebih dari 30 orang yang dianggap terkait, berikut rinciannya:


1. Jumirin alias Sobirin alias Abu Azam (31) dari Sei Nangka Asahan Sumatra utara.


2. Khairul Ghazali alias Abu Yasin (lahir 1963). Dari 2004-2010 dia tinggal di Tanjung Balai Sumut.


3. Anton Sujarwo alias Supriyadi (30) Tanjung Karang, Lampung.


4. Kasman Hadiyono (48) Hamparan Perak Sumut.


5. Agus Sunyoto alias Gaplek (25) Karanganyar Solo, Jawa Tengah.


6. Bagas alias Deri (30) dari Lamongan Jawa Timur.


7. Nibras alias Arab alias Amir (22) dari Pasuruan Jawa Timur.


8. Suraji alias Agus Iwan (18) dari Sawangan Magelang.


9. Fero Riski Andrian alias Eki (22) dari Bengkalis Riau.


10.Dicky Ilyan Alidin (25), dari Langkat Sumut .


11. Jaja Miharja Fadilah alias Syafrizal dari kelompok Klaten.


12. Marwan alias waknong (21) dari Hamparan Perak Deli Serdang Sumut.


13. Suryo Saputro alias Umar alias Siam (21) dari Serdang, Bedagai Sumut.


14. Beben Khairul Rizal alias Abah dari Tanjung Karang Lampung.


15.Hendri Susanto ditangkap di Lampung.


16. Heri Kuswanto alias Ari bin Suratman(25) ditangkap di Lampung.


17. Abdul Haris Munandar alias Aris ditangkap di lampung.


18. Muhammad Khair (chair) alias butong dari Belawan Medan.


19. Robin Simanjuntak ditangkap di Dolok Masihul, Serdang Bedagai Sumut.


20. Abdul Gani Siregar ditangkap di Dolok Masihul, Serdang Sedagai Sumatra utara


21. Yuki Wantoro alias Rozak dari pasar kliwon Solo.


22. Dani alias Ajo ditangkap di Tanjung Balai Sumatra utara.


23. Ridwan alias Iwan dari Hampran Perak Deli Serdang Sumatra utara.


24. Taufik Hidayat ditangkap di Dolok Masihul, Serdang Bedagai Sumut.


25. Aalex Cecep Gunawan ditangkap di Sarang Pulah.


26. Azwar Edi alias Agam ditangkap di Sarang Pulah.


27. Fauzi alias Ozi (oji) Syahputra ditangkap di Sarang Pulah.


28. Rahmat di Dolok Masihul.


29. Zulkarnain Purba di Dolok Masihul.


30. M. yusuf dari Belawan Medan.


31. Abah Pendek di Dolok Masihul


32. Wahono alias Bawar ditangkap di Lampung.


33.Syaiful Siregar alias Imam dari Belawan Medan.


34. Taufik Harianto alias Abu Zaidah bin Dawar dari Medan.


34. Fadli Sadama dari Medan di tangkap di Malasyia


35. Tony Togar, di ambil dari tahanan Pematang Siantar yang dituduh sebagai otak perampokan CIMB dari balik penjara.


36. Abu Tholut, yang diawal perampokan di tuduh sebagai dalangnya dan di lapangan Taufiq Hidayat sebagai komandannya.


Kemudian entah dari mana jalannya, pihak Polri masih juga mendambah daftar DPO perampokan CIMB medan dengan kasus “niat” perampokan oleh 5 orang di Bali. Sebab, pada saat peristiwa terjadi diketahui ada 12 perampok bank CIMB Niaga. Saat itu, lima orang menguras brankas, sementara tujuh lainnya berjaga di luar (data foto lengkap 75 frame lebih dari berbagai sudut/angel, yang mengabadikan dari awal hingga akhir perampokan penulis masih arsipkan dengan baik). Belakangan, kasus ini dikaitkan juga dengan kasus “terorisme” di Aceh. Pelaku kemudian dijumlahkan dan total menjadi 21 orang.


Pada 27 September 2010, polisi merilis 9 tersangka penyerbu Polsek Hamparan Perak ditangkap 3 orang tewas, dan 13 orang ditangkap dan disidangkan. Lima lainnya dilepaskan karena tidak terbukti. Padahal dalam pengejaran kawanan itu di kawasan Serdang Bedagai, 8 orang ditembak mati petugas, 3 orang tertangkap hidup-hidup dan satu masih terus diburu.

Jika digabungkan maka paling tidak yang sudah tertangkap dan terbunuh sudah pas. Dan satu orang yang masih buron saat itu adalah Wawan alias Iwan Cina, karena perawakannya yang kurus dan mata sipit seperti halnya keturunan ras Cina.


Namun faktanya, orang yang ditangkap melebihi “quota”, dan daftar 36 orang diatas bertambah lagi dengan kelompok 5 (kasus kedua) yang di duga hendak merampok di Bali.Berikut nama inisial mereka.


37.HN (32) asal Bandung.


38. AG (30) tinggal Jimbaran


39.UH alias Kapten (31) asal Jepara,


40. D (27) asal Bandung,


41. M alias Aabu Hanif (30) asal Makassar. Semua lima orang ini meninggal di eksekusi Densus 88.


Lima orang yang terkapar tewas itu karena dampak kerancuan logika paralel dari BNPT. Karena salah satu diantara mereka di stempel DPO “teroris CIMB”, maka mereka juga di cap teroris, di tambah lagi dengan cerita empat orang sisanya masih terkait dengan jaringan Solo-Tauhid wal Jihad-.


Dan dari kasus ketiga “Beji-Depok”, Densus 88 juga sudah menangkap sejumlah orang yang dianggap terkait dan termasuk yang DPO kemudian ia menyerahkan diri. Berikut nama-nama orang yang di tangkap hidup dan mati;


42. Muhammad Thoriq dari Tambora Barat


43. Arif Hidayat (31) ditangkap di Rt 03 Rw 08 Warung Jambu Susukan Bojong Gede Bogor (10 Sept 2012).


44.Firman ditangkap di perumahan Anyelir 2 Kalimulya Depok (5/9/2012).


45.Ferdi ditangkap di Jalan Raya Raden Saleh Studio Alam Depok Jabar.


46.Zulkifli Lubis di tangkap di Kalibaru Sukmajaya Depok (7 Mei 2012)


47. Anwar, ditangkap di Beji-Depok, yang di duga orang susupan pihak aparat seperti pengakuan BNPT (Ansyaad Mbai yang keceplosan mengakui salah satu anggotanya-intel yang disusupkan- jadi korban ledakan di Beji Depok)


48. Yusuf Rizaldi (41) serahkan diri di Polres Langkat Sumut (12 sept 2012), yang sebelumnya ia DPO dan diduga pimpinan kelompok Beji-Depok ini.


49. Amirudin (27), adik dari jody alias Agus Abdillah (17/9/2012).


50. Jody alias Agus Abdillah ditangkap di Jalan Parigi Lama, Bintaro sektor IX. (17/9/2012)


51. Abay alias Saidil Akbar (30). Jody dan Abay Keduanya diduga terkait dengan kelompok M Thorik yang memiliki bahan peledak di Tambora termasuk terlibat dalam bom Depok.


52. Selain itu juga ditangkap Wendi alias Hasan di Palu.


53. Badri Hartono yang berlatih membuat bom di Poso.


54.Fajar Noviyanto


55. Dan Rudi Kurnia Putra dengan Fajar ditangkap di depan Solo Square saat turun dari bis dari perjalanan dari Cilacap.


56.Kamidi yang ditangkap di rumahnya Jalan Griyan RT 07 RW 10 Kelurahan Pajang.


57. Barkah Nawa Saputra yang ditangkap di rumahnya di Jalan Kentingan RT 02 RW 11 Kecamatan Jebres.


58.Triyatno ditangkap di Pasar Harjodaksino, Surakarta


59.Lalu Anggri Pamungkas,


60. Joko Tri Priyanto alias Joko Jihad ditangkap di Solo.

61. Dua korban ledakan di Beji-Depok lainnya bernama Mulyadi Tofik Hidayat dan,


62. Febri Bagus Kuncoro mengalami luka ringan.


63. Sofyan (30) di Depok, Senin, 8 Oktober 2012. Penangkapan itu berlangsung di Jalan Pulau Mangga, Gang Duku, RT 04 RW 03, Limo, Depok sekitar pukul 18.00 WIB.


Maka dari jumlah 63 orang (bahkan lebih, karena penulis masih belum memasukkan semua, yang termasuk salah tangkap dan salah tembak berakibat kematian), adakah nama DPO “MAKMUR” atau nama alias dari Makmur?


Sarat Keganjilan


Dari data dan fakta di lapangan ada beberapa keganjilan, antara lain sebagai berikut:


Pertama; jika berangkat dari TKP, maka faktanya adalah tindak kriminal murni perampokan. Dan prosedur penangkapan juga harusnya merujuk kepada KUHAP.Namun dilapangan setelah pengrebekan kemudian di klaim perampokan tersebut sebagai tindak pidana terorisme. Kemudian berlaku seperti modus biasanya yang dilakukan Densus 88; penahanan 7x24 jam atas terduga yang ditangkap hidup-hidup, dan di bawa di tempat yang dirahasiakan tanpa bisa di akses oleh pihak keluarga atau pengacara keluarga.


Kedua; lagi-lagi karena alasan melawan dan bahaya versi keterangan aparat Polri, kemudian dari tersangka perampokan 3 terkapar tewas ditembak ditempat.Dan tentu benar tidaknya perlawanan tidak bisa di konfirmasi karena korban sudah tewas. Sementara cerita “melawan” dari sumber tunggal Polri. Dan biasanya, tidak akan pernah direkonstruksi ulang benarkah terjadi perlawanan.


Ketiga; Kemudian berdasarkan keterangan pihak aparat bahwa kelompok perampok ini adalah teroris, justifikasi ini hanya berdasarkan cerita (asumsi) karena salah satu diantara mereka terkait tindak pidana terorisme CIMB Medan dan bom Beji-Depok. Yang dimaksud adalah Makmur, sementara Makmur sendiri sudah tewas tidak mungkin bisa lagi dimintai keterangan atas justifikasi tersebut via peradilan yang fair.Ini modus klasik, seseorang di tembak mati kemudian di “adili” dengan tuduhan dan label teroris.Dan dari orang yang tewas ini kemudian di rangkai cerita.


Keempat; benarkah Makmur DPO terorisme baik kasus CIMB Medan ataupun Beji-Depok? Faktanya Makmur menjadi DPO adalah setelah ia tewas ditangan aparat. Dan dari daftar diatas, tidak pernah ada Makmur.Maka sangat jelas sekali, teori pengkaitan atau kalimat “TERKAIT” dan “TERDUGA” terorisme telah memakan korban banyak orang. Ada yang ditangkap hidup, dan ada juga yang ditembak ditempat serta kemudian tidak pernah ada pengadilan untuk membuktikan kebenaran kalimat “TERKAIT TERORISME”. Padahal untuk mengungkap keterkaitan jaringan dalam aksi terorisme diperlukan fakta hukum dan data yang akurat. Tidak bisa asal mengaitkan antara jaringan satu dengan lainnya.Dan yang perlu di waspadai adalah masih ada DPO yang berinisial “F”, bisa jadi F akan dijadikan untuk estafet cerita “terorisme” di kasus yang berbeda dan di waktu serta tempat yang berbeda pula.


Kelima; terkait barang bukti, dengan tewasnya orang-orang kunci yang dijadikan pijakan tuduhan terorisme maka tidak mungkin bisa lagi dibuktikan kebenaran bahwa 14 bom itu adalah rakitan mereka atau milik mereka. Bukan hal yang mustahil, barang bukti itu rekayasa. Bahkan bisa dengan cara yang culas dan jahat, Densus88 memaksa 4 orang yang masih hidup untuk mengakui serta mengarang cerita mengikuti alur yang sudah disiapkan oleh Densus 88. Tengoklah kasus Khoirul Gozali yang di siksa Densus 88 untuk membantu memastikan cerita Densus 88 tentang perampokan Bank CIMB medan itu adalah fa’I dan terkait ustad ABB.


Keenam; terasa begitu aneh, Kabakreskrim Mabes Polri Sutarman cs sejak awal sudah mengklaim kasus ini adalah terorisme. Sebelumnya ia begitu ngotot untuk menepis semua serangan yang diarahkan kepada Densus 88 dari berbagai element masyarakat. Bahkan Sutarman menyatakan jika Densus 88 dibubarkan akan banyak bom di Indonesia.Seolah gayung bersambut, tidak berapa lama perampokan terjadi kemudian ditemukan bom dan ditambah “Makmur” menurut cerita aparat adalah DPO CIMB medan dan bom Beji-Depok sepertinya klop sudah untuk melabeli terorisme dari kasus perampoan Tambora ini.Dan fakta dilapangan sejak awal Densus 88 juga telah dilibatkan untuk pengrebekan.Kenapa ketika perampokan terjadi dihari berikutnya tidak diumumkan bahwa ini adalah aksi terorisme?? Tapi ini semua tuduhan setelah para tersangka kunci tewas ditangan aparat.


Ketujuh; cerita ini menjadi lebih drasmastis dengan kelengkapan ngibulnya Ansyaad Mbai (BNPT) bahwa pelaku terkait jaringan besar di Indonesia. Bahkan terkesan lebay, menuduh orang-orang yang sudah didalam tahanan sebagai biang kerok munculnya aksi terorisme karena sebab tulisan-tulisan mereka.Disamping itu muncul cerita 14 bom itu rencananya akan di sasarkan ke markas TNI dan Polri. Penulis merasa heran, kok begitu bodohnya orang-orang yang dituduh teroris ini. Kenapa harus merampok dulu, bukankah bom sudah ada 14? Senjata api ada 5 biji dengan peluru yang cukup bisa untuk dihamburkan membuat teror.Kalau mereka terkait kasus Beji-Depok atau Tambora (M Thoriq), kenapa mereka tidak belajar untuk bisa melakukan serangan teror yang lebih efektif dan tidak perlu nunggu waktu di sikat Densu 88. Dan psikologi orang-orang yang betul-betul masuk jaringan “teroris” dan di jadikan DPO teroris oleh Densus 88, biasanya mati adalah pilihan terbaik. Jadi ini “teroris setengah hati”, antara fakta dan stigma lebih dominan “teroris stigma”.Hebatnya lagi, komunikasi antar mereka manual tapi mereka dengan cepat bisa di gulung.


Maka dari sini terlihat, stigma TERORISME sangat dipaksakan hanya untuk melanggengkan proyek kontra-terorisme di Indonesia. Masyarakat dipaksa dari sumber sepihak untuk mengaminkan OPINI dan PROPAGANDA bahwa ini adalah aksi terorisme. Aparat kepolisian telah melakukan ‘PENGADILAN SEPIHAK” diluar ruang pengadilan.Demikian pula, aparat kepolisian telah meng “KRIMINALISASI” sebuah terminology dalam Syariat Islam yaitu “FA’I”.


Tidak salah kalau kemudian banyak masyarakat yang melek politik berasumsi; dramatisasi dan stigmatisasi kasus perampokan Tambora dengan label terorisme tidak lebih tidak kurang dalam rangka membela dan melegitimasi eksistensi Densu 88. Dan efek berikutnya bisa memalingkan opini tentang skandal Simulator SIM oleh Korlantas Mabes Polri. Dan yang terakhir, ini tahun jelang pergantian Kapolri, wajar kalau kemudian ada kepentingan-kepentingan opuntunir yang menunggangi kasus kriminal perampokan ini. Wallahu a”lam bisshowab.

Terungkap, Densus 88 tembak mati 13 warga Poso meski tidak bersalah

Hasil Investigasi Komnas HAM atas tindak kekerasan Densus 88 di Poso mulai mengagetkan publik. Peristiwa Tanah Runtuh pada 22 Januari 2007 itu memunculkan fakta baru bahwa Densus 88 ternyata telah membunuh 13 nyawa yang jauh dari target. Siane Indriani, mengungkapkan ke-13 orang tersebut bukanlah DPO yang selama ini dicari oleh Densus 88.

Mereka di antaranya adalah; Firman, Nurgam alias Om Gam, Idrus, Totok, Yusuf, Muh. Syafri alias Andrias, Afrianto alias Mumin, Hiban, Huma, Sudarsono, dan Ridwan Wahab alias Gunawan.

Komnas HAM mendapatkan fakta bahwa sebagian korban sebenarnya masih bernyawa dan memungkinkan bisa diselamatkan. Densus 88 dianggap telah membiarkan nyawa manusia melayang begitu saja atas penyalahgunaan wewenang yang telah mereka lakukan.

“Bahkan terkesan sengaja dibiarkan hingga akhirnya tewas. Komnas HAM mengecam tindakan kejam yang tidak manusiawi ini, yang sengaja dilakukan justru oleh aparat Kepolisian. Apalagi diperoleh fakta sebagain besar korban tewas dalam kondisi jenazah yang sangat mengenaskan,” kata Ketua Tim Pemantauan dan Penyelidikan Penanganan Tindak Pidana Terorisme, Siane Indriani, dalam Konferensi pers, Senin (18/3/2013) di Kantor Komnas HAM, Jakarta.

Atas kejadian ini, Komnas HAM mendesak Kapolri melakukan tindakan Hukum seadil-adilnya terhadap para pelaku, baik yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam peristiwa penyiksaan kepada warga Poso.

Din Syamsuddin Tantang Polri Buktikan Kebenaran Video

Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin meminta Mabes Polri untuk tidak berapologi (melakukan pembelaan) dalam menyikapi peredaran video Densus 88 saat menangani terorisme.

Din meminta Mabes Polri tidak menutup-nutupi hal tersebut dan mengusut serta menindak tegas pelaku yang ada.

"Video itu jelas asli tidak direkayasa. Kalau tidak percaya mari kita buktikan. Undang para ahli. Jelas ada Densus di dalamnya. Kecuali ada yang meminjam baju Densus," ujar Din usai meresmikan Taman Pustaka Muhammadiyah di Kompleks SD Muhammadiyah Wirobrajan Yogyakarta, Selasa (19/3).

Menurut Din, penanganan masalah tersebut bukan terletak pada pembubaran Densus 88.

"Harus ganti pendekatan memerangi terorisme. Teroris musuh bersama tetapi jangan diberantas melalui teror juga. Itu justru akan melestarikan teror. Harus ada pendekatan lain," tegasnya.

Tidak Ada Rekayasa Dalam Video Kebrutalan Densus di Poso

Kunjungan Komnas HAM ke Palu dan Poso (7-11 Maret 2013) untuk mengklarifikasi video kekerasan yang dilakukan Densus 88, diperoleh bukti kuat, bahwa Densus 88 memang betul-betul terlibat. Komnas HAM menegaskan, tidak ada rekayasa dalam video tersebut.

“Jika melihat video itu sejak awal hingga akhir, pixelnya sama, dan kualitas gambarnya pun sama. Tidak ada penggalan dari lokasi lokasi lain. Yang jelas, lokasinya sama. Video ini benar adanya. Jadi tidak benar kalau dikatakan ada penggalan di lokasi yang berbeda, seperti dikatakan beberapa pihak, dalam hal ini Polri,” ungkap Ketua Tim Pemantauan dan Penyelidikan Penanganan Tindak Pidana Terorisme Komnas HAM, Siane Indriani didampingi Noor Laela, Ketua Komnas HAM yang baru.

Siane menegaska, tidak ada editan, mungkin hanya pause saja. Jadi video itu bukan penggabungan tahun 2007 dan 2012. Ini murni 2007. Faktanya menunjukkan demikian. “Kami mohon kejujuran pihak kepolisian, bahw video itu memang benar.” Lebih fair lagi, jika polisi membuka semua video yang masih disimpan Komnas HAM.

Ketika ditanya, apakah Densus terlibat dalam kekerasan tersebut? “Ketika visual bicara, Polri tidak bisa mengelak. Video ini sudah menjadi bukti yang cukup. Yang pasti, dalam video itu ada anggota Densus. Kami, Komnas HAM minta agar Kapolri mengusut tuntas dan menyeret aparat yang terlibat dalam penyiksaan tersebut untuk diproses secara hukum. Perlakunya jelas tidak manusiawi dan melakukan pelanggaran HAM serius.”

Seperti diberitakan sebelumnya, pelaku tindakan kekerasan dan penyiksaan yang ada dalam video itu terdapat beberapa anggota Densus 88 sebagaimana kesaksian para saksi mata serta terlihat jelas, sebagaimana terekam dalam video itu. (Lihat menit ke 01.57, 02.01, 03.11, 03.43, 04.03, 04.49, 05.07, 07.00, 07.03, 07.34, 07.37, 07.38, 08.33, 08.11).

Wednesday 13 March 2013

Memelihara dan menjaga Perut

Di dalam kitab Minhajul Abidin, Imam Ghazali (Hujjatul Islam) mengutip pernyataan Ma'ruf Al-Kurkhi yang berkata, “Apabila engkau berpuasa, lihatlah dengan apa engkau berbuka dan dengan siapa. Sebab, berapa banyak orang yang memakan suatu makanan, kemudian hatinya berbalik dan tidak kembali kepada keadaannya yang semula, selama-lamanya.”

Ma'ruf Al-Kurkhi melanjutkan, “Berapa banyak makanan yang kemudian menghalangimu mendirikan shalat malam. Dan berapa banyak pandangan haram telah menghalangimu dari membaca Alquran. Terkadang, sepotong makanan bisa menghalangi seorang hamba dari melaksanakan shalat malam selama satu tahun.”

Imam Ghazali berkata, “Jangan harap bisa memperoleh manisnya ibadah jika engkau makan terlalu banyak. Bagaimana cahaya akan bersinar di hati tanpa ibadah? Apa nikmatnya ibadah yang tak disertai rasa manis dan kelezatan?”

Ibadah, pada hakikatnya jauh lebih nikmat dari apapun kenikmatan dunia ini. Hal itulah yang bisa kita lihat dari sosok Imam Syafi'i, seorang ulama yang mampu mengkhatamkan Alquran sebanyak 60 kali dalam shalat.

Selain itu, Imam Syafi'i juga memiliki akhlak mulia dan sangat tekun ibadah. Selama 16 tahun, beliau tidak pernah makan sampai kenyang, kecuali hanya sekali saja. Dan yang sekali itu pun sangat disesalinya. Menurutnya, makan kenyang berdampak negatif terhadap daya pikir dan ibadah.

Jadi, perut terlalu kenyang saja sudah cukup membebani seorang hamba bisa merasakan lezatnya ibadah. Apalagi kalau perutnya kenyang dengan makanan haram hasil korupsi, mencuri, menipu, merampok, dan kecurangan-kecurangan lainnya. Pasti akan semakin menyusahkan dan memberatkan masa depannya, baik di dunia lebih-lebih di akhirat.

Soal perut dalam Islam ternyata bukan perkara ringan. Sebaliknya, justru sangat menentukan baik buruknya seorang Muslim termasuk layak tidaknya untuk bisa masuk surga.

Hal ini telah Rasulullah tegaskan dalam sebuah haditsnya. “Wahai Kaab bin Ujroh, shalat adalah taqarrub, puasa adalah benteng, sedekah menghapuskan kesalahan seperti air memadamkan api. Hai Kaab, tidak akan masuk surga orang yang dagingnya tumbuh dari makanan haram karena neraka lebih dekat dengannya.” (HR Muslim, Nasai, ad-Darami).

Oleh karena itu, sudah sepatutnya setiap Muslim memperhatikan apa yang dimakannya, dari mana diperoleh dan bagaimana cara memperolehnya.

Mustahil seorang hamba akan selamat manakala ia tidak memperhatikan makanannya, sehingga benar-benar dapat dipastikan makanannya selama ini benar-benar terjamin kehalalannya secara utuh.

Rasulullah SAW bersabda, “Seorang mukmin akan berada dalam kelapangan agamanya selama tidak makan yang haram.” (HR Bukhari). Jika tidak, maka boleh jadi ibadah dan doa-doa yang dipanjatkan tidak akan dikabulkan oleh Allah SWT.

“Ada seseorang yang melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut dan pakaiannya berdebu. Ia mengangkat kedua tangannya ke langit seraya berucap: “Ya Rabbku, ya Rabbku,” sementara makanannya haram, minumannya juga haram, pakaiannya haram, dan dibesarkan (tumbuh) dengan makanan yang haram. Bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan?” (HR Muslim).

Tuesday 12 March 2013

Harlem shake... Binatang jenis apa itu???

Buat kamu yang biasa berselancar di dumay, mungkin pernah melihat sejenis tarian yang lagi happening banget sekarang. Yups namanya lebih asyik kalo kita ganti dengan haram shake, heee... Tarian ini biasanya GJ alias nggak jelas atau suka- suka, dan kebanyakan dari para pelakunya nggak sungkan- sungkan mempertontonkan aurat mereka sambil menikmati dance dan musiknya. Yah maklum aja, menurut sejarahnya tarian ini aja terinspirasi dari gaya orang mabuk atau orang gila tapi yang mereka kasih label fantastik.

Friends, mungkin banyak kamu yang berpikir kalau tarian ini menyuguhkan hiburan, apalagi kaya'nya asyik dan bisa banget buat lucu- lucuan bareng genk. Tapi lihat deh, sekilas aja kamu yang cerdas pasti bertanya, adakah sesuatu dibalik pembuatan tarian itu? come on, wabah seperti nggak akan mungkin sekedar disebar tanpa ada embel- embel didalamnya. Menyamakan diri dengan orang gila, atau yang selevel dengan orang yang nggak waras, alias lagi sakau, plus kehilangan kehormataan dan rasa malu dengan berani semi telajang, kelihatannya jadi tujuan dari semua ini. Padahal Nabi Muhammad Sallahu 'alaihi wassalam bersabda, "Islam itu tinggi, dan tidak ada yang lebih tinggi darinya" (HR. Muslim). So, kalau kamu dengan bersuka ria dan rela hati ngedance begituan, sama aja kamu pasrah disebut merendahkan agama kamu sendiri, sekaligus happy banget disamain dengan orang gila.

Ada lagi yang berpendapat, "Ah buat asik- asik aja kale', lagi pula ajang kreativitas yang asyik poenya". Pertanyaannya bukankah yang namanya kreatifitas itu kudu orisinal alias asli bukan plagiat milik orang lain. Apalagi niru- niru budaya yang jelas- jelas jauh dari nilai islami? Lagi pula friend, masih banyak cara berkreatifitas yang lebih asyik dari semua itu. Dan tentunya nggak pake acara buka-bukaan, dan yang lebih pasti lebih Smart.

Sebagai remaja yang cerdas, jangan mau di cuci otak dengan gratis, cuma karena topeng kesenangan yang mereka bawa. Termasuk juga jangan gampang latah dan bangga cuma sekedar jadi penggembira budaya yang lagi In. Hey, kamu yang cerdas pasti punya jati diri yang jelas. Dan itu terlalu mahal bro, buat diutak atik.

Wait, jadi ingat satu hal sebelum kita tutup. Friends, setuju nggak kalau sabda nabi Muhammad adalah perkataan yang paling baik? jawabnya pasti iya lah. Dan beliau sudah bersabda, “Sungguh, kamu akan mengikuti (dan meniru) tradisi umat-umat sebelum kamu, bagaikan bulu anak panah yang serupa dengan bulu anak panah lainnya. Sampai kalaupun mereka masuk ke lubang biawak niscaya kamu akan masuk ke dalamnya pula.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, orang-orang Yahudi dan Nasranikah?” Beliau menjawab, “Lalu siapa lagi.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dan sabda beliau berabad-abad yang lalu itu, ternyata kejadian dijaman ini. Beliau bukan peramal, melainkan apa yang beliau sabdakan adalah berasal dari Allah subhanahu wata'ala. So, kamukah termasuk orang yang ada dalam sabda beliau terdalamnya? jawabannya tergantung pilihan kamu sendiri.

Hasil investigasi lapangan CIIA terkait video kekerasan aparat di Poso



With; Harits Abu Ulya

Pemerhati Kontra-Terorisme & Direktur CIIA (The Community Of Ideological Islamic Analyst)

1. Apa pandangan anda terkait konflik Poso?

Konflik Poso yang meletup sekitar 13 tahunan lalu berbeda dengan kasus sekarang. Dulu diawali dari perkelahian anak-anak mabok (Kristen) dan membacok seorang ramaja masjid kemudian menjadi konflik yang eskalasinya meluas menjadi perang Muslim Vs Kristen.Sekarang beda, yang terjadi hanya “perang” antara beberapa kelompok orang Vs aparat keamanan (Polri). Tapi kasus sekarang juga masih ada benang merahnya dengan konflik masa lalu, teror yang dilakukan oleh sekelompok kecil orang itu adalah wujud residu ketidakadilan dari penanganan konflik masa lalu yang tidak tuntas.Ditambah akumulasi perlawanan dari kelompok tertentu yang selama ini jadi buron dengan tuduhan terorisme.Kemudian Poso di jadikan basis perlawanan tehadap perkara yang menurut mereka adalah kedzaliman. Jadi terlalu didramatisir kalau kasus sekarang dikatakan konflik.Kalau tindakan yang bisa memicu konflik benar adanya, baik dari tindakan apara kepolisian yang tidak proporsional dan overacting maupun teror yang dilakukan orang-orang tertentu terhadap aparat kepolisian. Di sisi lain memang ada indikasi faktor kepentingan ekonomi dan politik regional opuntunir berkontribusi menjadikan konflik makin komplikasi dan “terpelihara”.

2.Pendekatan keamanan selalu dikedepankan untuk merespon kekerasan yang terus berlangsung di Poso, menurut anda?

Ini kebijakan “militeristik” yang tidak proporsional, terlalu eksesif (berlebihan).Bahkan membuat kondisi psikologis masyarakat yang belum sembuh benar dari konflik masa lalu makin terluka.Kehadiran personil Polri dan TNI dalam jumlah yang berlebihan hanya untuk mengejar sekelompok orang justru menjadi pemicu sikon sosial politik keamanan tidak nyaman bagi masyarakat. Masyarakat dalam suasana tertekan dan terteror, dalam bahasa mereka “Poso kapan saja bisa meledak peristiwa teror dan berdampak kepada kehidupan keseharian mereka”.

Contoh, begitu aparat kepolisian tertembak di Kalora kemudian mereka tidak mengejar ke gunung tapi malah balik ke masyarakat. Hasil buruan nihil, malah justru obrak-abrik kota Poso dan menangkap orang-orang yang tidak bersalah dengan interogasi yang keji kemudian dilepas begitu saja.Jelas ini menyulut kebencian masyarakat Poso. Keamanan dan kenyamanan masyarakat jadi terganggu. Ini indikasi operasi intelijen belum maksimal untuk memetakan ancaman di teritorial tertentu dan belum bisa membuat rekomendasi yang tepat dan proporsional. Malah yang terjadi show of force mengerahkan pasukan, terkesan kebijakan dibuat dengan emosional, paranoid dan tidak memahami realitas dilapangan.

3. Apakah anda yakin teroris itu ada di Poso?

Tergantung sudut pandang, kalau pakai kaca mata Barat yang diaminkan pemerintah Indonesia dalam hal ini oleh BNPT dan Densus 88 maka “teroris” versi mereka ya ada. Tapi kalau kita tidak apologis dengan barang dagangan Barat tersebut, maka kita tidak menemukan kelompok “teroris”, yang ada adalah mereka yang membela dan menuntut hak-haknya..Dan berusaha untuk mengais keadilan ditengah kedzaliman global yang episentrum kedzaliman tersebut adalah Barat (Amerika cs). Dan terror yang terjadi itu puncak gunung es-nya. Saya melihat Teroris dalam tanda kutip menjadi kedok sebuah proposal proyek oleh tangan-tangan tersembunyi di Poso dan luar Poso. Ada yang berperan sebagai sutradara, produser, pemain, pengembira yang mereka semua mendapatkan keuntungan dan Poso menjadi panggungnya.

4. Fokus terkait Video kekerasan aparat polisi di Poso yang beredar, berdasarkan investigasi CIIA bagaimana?

Setelah kita elaborasi dari saksi-saksi yang ada di dalam video dan saksi lainnya serta olah TKP, kesimpulannya benar adanya isi video itu bukan rekayasa. Artinya kita temukan ada dua fakta paling krusial, yaitu soal kebenaran peristiwa. Dan kedua, tempat lokasi peristiwa penyiksaan oleh aparat yang diduga keras adalah Densus 88 dan kesatuan lainnya. Video itu sangat sulit jika dikatakan rekayasa atau bahkan editan (gabungan) dari peristiwa tahun 2007 dan tahun 2012, semua bisa dibuktikan secara teknologi audio visual dan dikonfirmasi dengan fakta lapangan.

Video itu adalah terjadi pada hari Sabtu, 22 Januari 2007 sekitar jam 12.00 wita (selepas waktu dzuhur). Dan tempat kejadian di wilayah Tanah Runtuh, tepatnya dikawasan Gunung Jati eks Lorong pembantu Gubernur Kelurahan Gebang Rejo Poso Kota didepan halaman rumah salah satu warga.Dan lima orang korban penyiksaan dalam video itu adalah; 1. Wiwin alias Tomo alias Rahman Kalahe yang saat ini masih menjalani hukuman 17 tahun di penjara Lapas Petobo Palu Sulteng. 2. Tugiran dan masih menjalani hukuman di Lapas Petobo Palu Sulteng sama dengan Wiwin. 3. Rasiman (32) yang baru bebas tahun 2010 setelah 3 tahun jalani hukuman di LP Petoba Palu sejak tahun 2007.4. Fachrudin alias Udin (24) statusnya meninggal (ia adek dari Basri yang saat ini menjalani hukuman di LP Ampana Tojo Unauna 18 tahun). 5. Ridwan alias Dwan yang saat ini bebas setelah menjalani hukuman 3 tahun di LP Petobo Palu dan bebas ditahun 2010 seperti halnya Rasiman.

6. Apakah di temukan fakta-fakta baru yang tidak terungkap di publik?

Dari pengakuan saksi yang ada di dalam LP (Wiwin dan Tugiran) mereka membenarkan semua isi video terebut. Sekalipun mereka merasa kecewa kenapa baru saat ini terungkap ramai, mengingat video tersebut udah lama dan beredar dibeberapa kalangan. Dan bahkan keduanya sempat membantu Komnas HAM memberikan sketsa peta tempat persisnya kejadian perkara, yang kemudian Komnas HAM melakukan olah TKP. Bahkan kesaksian ini di perkuat lagi oleh Rasiman (yang sudah bebas dari hukuman) saat dilapangan.

Ada kronologi dan fakta penting, sebelum mereka di tangkap dan dikumpulkan di halaman rumah seorang warga (seperti yang terlihat dalam video), terjadi baku tembak dari pagi antara DPO dengan aparat gabungan Polri. Dan baru kemudian 5 orang ini menyerah, dan dari penuturan Rasiman terungkap tindakan aparat yang sangat tidak manusiawi.Saat ia bersama 3 rekan lainya sudah menyerah tidak berdaya dan menuruti semua apa yang dikatakan aparat saat itu.Tapi tetap saja mereka di siksa bahkan Rasiman sendiri kaki kanannya ditembak. Dalam kondisi tangan terikat dan ada yang ditelanjangi mereka di siksa dengan popor senjata, pukulan dan tendangan hingga babak belur dan berdarah-darah. Dan Wiwin yang belakang menyerah juga ditembak bagian dadanya (seperti dalam video), padahal ia sudah menuruti semua permintaan aparat untuk melepas baju dan celana (tertinggal celana dalam saja) dengan alasan diduga melilitkan bom dibadannya. Akhirnya ditembak juga hanya karena tidak menuruti untuk jalan sambil merayap seperti perintah aparat.

Penyiksaan terus berlanjut karena pasukan gabungan Polri saat itu menanyakan keberadaan Basri, salah seorang yang dianggap panglima dan paling dicari (menjadi DPO utama diantaranya karena kasus mutilasi tiga siswa di Bukit Bambu). Saat itu, Basri juga diduga sebagai salah seorang pemimpin dari kelompok bersenjata di Poso. Mereka menjawab tidak tahu keberadaan Basri, karena memang tidak mengetahui hingga karena itu mereka disiksa terus menerus. Dari kesaksian Rasiman juga, sekalipun mereka semua mengalami penyiksaan dengan kondisi tangan terikat dan mata tertutup, semua masih dalam keadaan hidup (bernyawa). Bahkan saat mereka diangkut ke Polres Poso dengan mobil Barakuda, ke-empat rekannya juga masih hidup.Dan sebelum dibawa ke Mapolda, di Polres Poso juga mengalami penyiksaan di ruang yang berbeda. Rasiman menuturkan saat di Polres Poso mengalami siksaan dengan di injak-injak dan di pukul.

Yang menggenaskan adalah nasib Fachrudin alias Udin saat itu usianya sekitar 24 tahun (adek Basri), waktu dibawa ke Palu dari Poso dalam kondisi masih hidup. Tapi saat setibanya di Polda Palu kondisinya sudah dalam keadaan meninggal dengan kondisi yang sangat mengerikan. Wajah Udin hancur hampir tidak bisa dikenali oleh rekannya kecuali dari bagian tubuh yang lain. Rasiman dan rekan lainya saat dibawa untuk mengenali korban tahu bahwa jazad yang terbujur kaku di RS Bhayangkara Palu adalah Fachrudin dari bentuk fisiknya saja.Dan kuburan almarhum Udin saat ini berada di Poso dan bisa dibuktikan keberadaannya.Ini indikasi dan bukti kuat ada kebiadaban sistemik yang dilakukan oleh aparat dilapangan.

Dan model-model penindakan yang sangat biadab ini juga tidak hanya menimpa kepada 5 orang yang di video. Tapi masih banyak fakta dan data terkait orang-orang yang tertuduh teroris, TKP nya juga ada di wilayah Poso dan sekitarnya dan ada data serta dokumentasinya.

7.Soal korban salah tembak atau salah tangkap, bagaimana kalau diteruskan ke ranah hukum: mereka trauma dan nama mereka rusak?

Sekalipun tidak boleh berharap banyak namun ihtiyar untuk mencari keadilan perlu lakukan.Negeri ini katanya negeri hukum, ditengah bopengnya penegakkan hukum ya tidak ada salahnya kalau mencoba. Karena yang saya tau, pembunuhan diluar jalur pengadilan (extra judicial killing) atau Summary Executions adalah pelanggaran HAM berat sekalipun dalam rangka law enforcement. Melanggar UU Nomer 39 tahun 1999. Dan hal ini dijelaskan dalam Pasal 104 juncto UU nomer 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM pasal 7 sub B dan pada Pasal 9. Begitu juga korban tembak yang masih hidup atau tidak di “hadiahi” pelor oleh Densus, perlu advokasi. Karena dalam UU Nomer 5 tahun 1998 tentang ratifikasi konvensi PBB diatur tentang anti penyiksaan dan perendahan martabat manusia dan penghukuman yang merendahkan martabat manusia.

Nah, dilapangan aparat Densus sering mengabaikan kaidah-kaidah hukum ini. Contoh dari kasus Kalora-Poso, 14 warga sipil babak belur selama 7×24 jam di interogasi di mapolres Poso dan setelah tidak terbukti dilepas begitu saja tanpa ada rehabilitasi nama atau bahkan meminta maaf. Ini perbuatan yang sangat tidak manusiawi. Apakah hanya karena label “teroris” bagi seseorang kemudian itu menjadi “sertifikat halal” bagi Densus88 untuk membunuh orang atau boleh melanggar hukum seenaknya? Jika aparat penegak hukum seperti itu, ya tidak ada bedanya dengan gerombolan penjahat berkedok hukum. Aparat itu penegak hukum, bukan “hukum” itu sendiri.Orang-orang yang diduga atau tertuduh teroris tidak seberuntung seperti seorang Benget Situmorang (BS) pelaku mutilasi sadis terhadap istrinya (Darna), yang potongan-potongan jasadnya di ecer di ruas tol Cikampek, Jakarta Timur. Si BS masih bisa menghisap rokok di depan penyidik. Mutilasi apapun motifnya dan pelakunya tetap saja adalah tindakan kriminal berat.Tapi hari ini umat Islam menyaksikan penegakkan hukum yang sangat timpang.

Densus88 dan BNPT selalu berlindung pada alasan terorisme adalah kejahatan extra ordinary jadi perlu penanganan yang juga extra ordinary. Seperti halnya low enforcement oleh Densus sudah banyak menabrak criminal juctice system hanya karena alasan ini extra ordinary crime. Misalkan asas praduga tak bersalah diabaikan begitu saja (presumption of innocence ).

8.Soal desakan pembubaran Densus 88, bagaimana peluangnya menurut anda?

Peluangnya besar sekalipun ada pihak yang pasang badan. Saat ini adalah momentum untuk mewujudkan itu. Ormas Islam mayoritas sudah bersuara, LSM moderat liberalpun angkat bicara.Ini sudah menjadi keprihatinan mayoritas masyarakat Indonesia. Kita yang punya kepedulian perlu terus mengawal bersama. MUI juga sudah sempat terjun kelapangan untuk mengawal investigasi Komnas HAM. Jadi sekarang perlu umat dan tokohnya konsolidasi merapatkan barisan untuk merumuskan langkah strategis berikutnya. Ini kedzaliman yang tidak boleh lagi di tolerir dengan alasan apapun. MUI juga harus mengeluarkan rekomendasi, minimal mendukung langkah Komnas HAM untuk melanjutkan investigasinya dan melanjutkan kepada fase berikutnya. Yakni, menaikkan ke status kepelanngaran HAM berat sesuai UU nomor 26 Tahun 2000. Dan mendorong agar Komnas HAM berani memplenokan hasil investigasinya, dan membuat rekomendasi. Ini penting karena bisa dijadikan sebagai acuan untuk melakukan tindakan hukum berikutnya bahkan melakukan judicial review atas UU nomor 15 tahun 2003 (Penanggulangan terorisme) dan undang-undang derivate (turunan dan pelengkapnya).

Yang perlu di sadari, Komnas HAM tidak banyak punya kewenangan. Bahkan sangat mungkin di teror oleh oknum-oknum tertentu atas kasus ini, agar tidak bersuara keras. Mengingat Komnas sudah turun ke Poso sejak 22-31 Januari 2013, terkait dugaan penanganan teroris di Poso tidak sesuai prosedur. Seperti tertembaknya terduga teroris pada tanggal 3 November 2012, dan kekerasan terhadap 14 warga saat menjalani pemeriksaan di kantor Polisi pada akhir Desember 2012 terkait tertembaknya Polisi di Desa Kalora-Poso. Saya khawatir, kalau langkah berbagai element umat dan Komnas HAM gagal ditengah jalan maka akan melahirkan kekecewaan masyarakat Poso dan kelompok tertentu yang merasa terdzalimi di Poso. Dan dampaknya bisa ditebak, ibarat api dalam sekam maka Poso bisa meledak kapan saja. Dan justru saya melihat ada pihak yang tidak ingin drama perang melawan terorisme ini berakhir di Poso dan tempat lainya dengan terus mempertahankan pasukan teror Densus88.

9.Bagaimana pendapat anda dengan tindakan Komisi III yang mempertanyakan kerja Densus yang main tembak dan ada wacana dibentuk panja?

Saya apresiasi, tapi masih butuh lebih dari itu. Political will dari Komisi 3 harus ada karena mereka punya “dosa” masa lalu, Densus 88 dan BNPT harus di evaluasi total dan di audit keuangannya. Selama ini dengan dana APBN dan hibah dari luar negeri untuk kepentingan kontra terorisme apa hasilnya? Apakah sudah tepat strategi yang digunakan oleh Densus 88 dan BNPT yang lebih tampak dominan dan “heroik” dengan hard power-nya.Sementara banyak fakta dilapangan menjadi indikasi kuat penanganan atas orang-orang yang di tuduh teroris sarat dengan pelanggaran HAM berat.Mulai dari penetapan DPO, penangkapan, proses penyidikan, sampai pada kasus tewasnya terduga teroris hanya karena alasan kill or to be kill (membunuh atau dibunuh).Bahkan hak-hak keluarga korban juga sering diabaikan begitu saja.Umat Islam banyak yang resah, khusus para tokohnya dan dinamika ini tidak boleh diabaikan begitu saja.

DPR dengan perannya bisa mengadvokasi keresahan ini untuk mengaborsi pelangaran-pelanggaran serius. Sekalipun banyak masyarakat yang pesimis dengan peran wakil rakyat yang mudah “masuk angin” ketika mengadvokasi kepentingan masyarakat. Lebih-lebih Komisi 3 (dosa masa lalu) yang melegislasi sejak awal payung hukum (regulasi/UU) untuk agenda perang melawan terorisme di Indonesia. Dan bahkan yang melegislasi anggaran untuk Densus dan BNPT, artinya mereka secara politik memberikan dukungan semua operasi kontra-terorisme. Tapi lemah kontrol dan bahkan cenderung tutup mata dan telinga atas tindakan-tindakan overacting dari aparat Densus 88. Banyak orang apatis, jangan sampai nasib umat Islam yang tragis dengan isu terorisme malah dijadikan modal “narsis” para politisi di parlemen, ujung-ujungnya kepentingan opontunir mereka yang diraih.

10.Menurut anda, apa pesan yang ingin disampaikan oleh pelaku serangan di Poso?

Yang bisa saya eja, minimal mereka ingin menunjukkan dua hal; pertama, menuntut keadilan dan balas dendam atas kezaliman yang berjalan dibawah bendera kontraterorisme. Dan kedua, ingin memberi pesan bahwa mereka masih eksis dan kapan saja akan melawan dengan segala resikonya jika sikap dan keputusan-keputusan politik selalu menyudutkan Islam dan umatnya.

Friday 8 March 2013

Muslimat NU dan 27 Ormas Islam Kembali Desak Bubarkan Densus 88

Untuk kedua kalinya, sejumlah ormas Islam berkumpul di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jalan Menteng Raya Jakarta no. 62 Jakarta Pusat, Kamis (07/03/2013) siang. Dalam Silaturrahim Ormas Lembaga Islam (SOLI), 27 ormas Islam mendesak pemerintah melakukan evaluasi atau bila perlu membubarkan Detasemen Khusus Antiteror (Densus) 88 atas dugaan pelanggaran Hak Asasi Kemanusian (HAM) berat.

27 Ormas Islam ikut menandatangani desakan ini, di antaranya; MUI Pusat, PP Muhammadiyah, Muslimat NU, Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), DPP Syarikat Islam, PP Matla’ul Anwar, PP Wanita Islam, Baitul Muslimin Indonesia, Hidayatullah, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII), DPP Hizbut Tahrir Indonesia, Ikata Dai Indonesia (IKADI), dan Majelis Dakwah Islamiyah, PP Parmusi, Tabiyah, MIUMI, Al Irsyad, PP Dewan Masjid Indonesia (DMI) dan BKPRMI, serta PP Al-Itihadiyah.

Dr Marwah Daud Ibrahim, Ketua Presidium Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesa (ICMI) saat membacakan pernyataan sikap, menyatakan, “Densus 88 telah melakukan pelanggaran berat. Dalam banyak kasus, tindakan Densus 88 telah terbukti melampaui kepatutan, kepantasan, dan batas perikemanusiaan berupa penangkapan, penculikan, penyiksaan, intimidasi, dan pembunuhan, yang sebagian terekam dalam video yang beredar. Densus 88 telah menelan banyak korban serta menimbulkan kesedihan, luka dan trauma yang mendalam.”

Marwah yang didampingi beberapa perwakilan ormas Islam termasuk Dr Din Syamsuddin juga meminta negara (melalui aparat kepolisian, red) tidak menangani teror dengan menjadi teror baru. “Walaupun aparatur keamaan memiliki kewenangan khusus terkait pemberantasan terorisme, tetapi setiap langkah dan tindakan pemberantasan terorisme harus tetap berpijak pada prinsip hukum.”

“Kami mendesak pemerintah untuk mengaudit kinerja (termasuk keuangan) lembaga tersebut dan menggantinya dengan lembaga baru yang kredibel, profesional dan berintegrasi dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat.”

Dalam jumpa pers dengan wartawan, Ketua Umum PP Muhammadiyah Dr Din Syamsuddin mengatakan, tindakan memberantas teror dengan cara teror sama artinya melanggengkan potensi teror dan dendam kesumat. "Tindakan yang dilakukan Densus 88 berpotensi melanggengkan terorisme," ujar Din.

Dengan pernyataan ini SOLI menilai, salah satu kesatuan elit yang berada di bawah Polri ini untuk segera dievaluasi atau jika perlu dibubarkan. Desakan Ormas Islam ini muncul terkait beredarnya video kekerasan yang diduga dilakukan anggota Densus dalam penanganan terduga terorisme.

Dalam pertemuan siang tadi ormas-ormas Islam sempat memutar sebuah tayangan video kekerasan yang diduga dilakukan oknum Densus dan Brimob. Dalam salah satu tayangan, terlihat aparat keamanan meminta korban beristighfar sebelum ditembak mati.

Sebelumnya, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin bersama Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan para pimpiman Ormas Islam lainnya secara khusus mendatangi Mabes Polri untuk melaporkan kepada Kapolri Jendral Timur Pradopo terkait video pelanggaran HAM berat yang dilakukan aparat Densus 88

Thursday 7 March 2013

POLISI VS TNI mapolres oku dibakar

Markas Polres Baturaja, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, diserang dan dibakar oleh puluhan orang berseragam tentara, Kamis (7/3/2013), pukul 07.30. Menurut informasi, sekitar 95 anggota TNI itu menyerbu Polres OKU dengan mengendarai sepeda motor dan truk.

Kejadian diduga buntut dari penembakan anggota kepolisian yang menewaskan seorang anggota anggota TNI Angkatan Darat Bataliyon Armed 15 Kodam II Sriwija, Pratu Heru yang tertembak oleh anggota Polres OKU pada 23 Januari lalu.

Puluhan orang berseragam loreng hijau tersebut memblokir jalan-jalan menuju Markas Polres Baturaja. Mereka juga menyerang anggota kepolisian dengan pukulan, tendangan, serta senjata tajam sejenis pisau atau sangkur.

Diberitakan, empat polisi terluka saat terjadi pembakaran Markas Polres Ogan Komering Ulu (OKU), Kota Baturaja, Sumatera Selatan, oleh puluhan anggota TNI dari Yon Armed 15. Keempatnya mengalami luka tusuk. Dua di antaranya kini masih kritis dan dirawat di Palembang. "Luka-luka empat orang, dua parah dan dirawat," Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Suhardi Alius di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis.

Kejadian bermula, anggota TNI Pratu Heru diduga melakukan pelanggaran lalu lintas. Anggota Satuan Lalu Lintas Polres OKU hendak menindaknya, Heru tidak menghiraukan bahkan tetap melanjutkan perjalanan. Dalam pengejaran, Heru ditembak oleh Polantas tersebut."Rencananya akan unjuk rasa damai terkait temannya yang tertembak, tapi jadi tidak terkendali," ujar Suhardi.

Saksi mata memperkirakan jumlahnya sekitar 100 orang. Warga sekitar, Gustin Moeslimi Singajuru (41), mengatakan, hingga siang kemarin, gedung kantor Polres Ogan Komering Ulu masih dalam kondisi terbakar meski api sudah mulai padam. "Sebagian besar sudah habis terbakar," katanya.

Informasi sementara, enam anggota kepolisian Polres OKU terluka tusukan. Puluhan orang berseragam itu juga menghalau anggota Polisi Militer yang akan mencegah aksi mereka serta melarang mobil pemadam kebarakan mendekat untuk memadamkan api.

Dua pos polisi sektor juga menjadi sasaran perusakan. "Suasana panik dan tegang, warga sekitar tak ada yang berani mendekat," kata Gustin menambahkan. Pihak Kodam II/Sriwijaya maupun Kepolisian Daerah Sumsel belum memberi keterangan.

Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Suhardi Alius menjelaskan, awalnya akan ada aksi damai terkait kasus anggota TNI Pratu Heru yang tertembak beberapa waktu lalu oleh anggota Polres OKU."Rencananya akan unjuk rasa damai terkait temannya yang tertembak, tapi jadi tidak terkendali," ujar Suhardi.

Berdasarkan informasi, para anggota TNI datang dengan menggunakan motor dan mengenakan seragam. Belum diketahui pasti jumlah korban di lokasi. Sementara itu, berdasarkan pantauan Kantor Berita Antara, akibat penyerangan dan pembakaran Mapolres OKU yang berada di pusat Kota Baturaja itu, suasana kota setempat mencekam dan sejumlah aktivitas warga terganggu.

Seorang saksi mata yang pagi itu hendak mengurus surat kelakuan baik, mengaku terkejut melihat ada keramaian dan gedung Mapolres OKU terbakar. Saksi itu hanya melihat beberapa anggota Polres OKU yang berlarian dengan kondisi luka-luka. Banyak polisi mengungsi ke kantor polisi militer di dekat mes dosen Universitas Baturaja dan masyarakat takut beraktivitas ke luar rumah karena khawatir menjadi sasaran.

Dukung MUI, Gelombang Pembubaran Densus 88 Sampai Ke Sumatera Barat

PADANGSejumlah Ormas Islam di Sumatera Barat mendukung langkah MUI dan Muhammadiyah yang melaporkan tindakan kekerasan yang dilakukan Densus 88 Anti Teror serta mendesak lembaga tersebut untuk dibubarkan. Mereka menilai, Densus 88 telah melakukan banyak pelanggaran di Indonesia.

Diantara Ormas tersebut adalah Komite Penegakkan Syariat Islam (KPSI) yang diwakili Novendri, Forum Libas Sumbar yang diwakili Khairul Amri, dan Paga Nagari Sumbar yang diwakili Ibnu Aqil D Ghani dan Ketua Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau (MTKAAM) Irfianda Abidin.

Irvianda Abidin yang juga pengurus Majelis Mujahidin Indonesia mengatakan, selama ini apa yang dilakukan Densus untuk menegakkan kebenaran, tidak sesuai dengan asas kemanusian dan telah masuk dalam kategori pelanggaran HAM Berat, dan lebih kejam dari apa yang telah dilakukan PKI.

“Dalam menegakkan kebenaran, seharusnya Densus 88 dapat mengutamakan langkah persuasif dan tidak melakukan penganiayaan ataupun penyiksaan, pada orang-orang yang ditangkap dan belum jelas kesalahannya,” katanya.

Irfianda juga berpendapat, kesewenangan Densus 88 juga terlihat dari tindakan yang menangkap warga yang sedang salat di masjid, sedang bersama anak-anak, dan lainnya. Hal ini jelas menimbulkan efek traumatik bagi orang sekitar.

Dirinya pun menduga, Densus 88 ini sudah membawa kepentingan Amerika yang berniat menghancurkan umat Islam. Untuk itu, Irfianda meminta Presiden SBY, DPR dan Kapolri bertanggung jawab terhadap permasalahan ini. “Termasuk mendesak Komnas HAM membubarkan Densus 88,” jelasnya.

Irvianda juga menambahkan, pihak-pihak yang selama ini telah mendukung berdirinya Densus 88, juga diminta bertanggung jawab. Menurutnya, Densus 88 harus ditetapkan segera sebagai organisasi/lembaga terlarang yang membahayakan negara.

Selain itu, ia juga menyayangkan dengan tindakan yang dilakukan oleh Densus 88, yang selalu menganggap islam sebagai pelaku aksi-aksi teror di Indonesia. Untuk itu, ormas islam Sumbar mendesak DPRD,Pemprov Sumbar dan pihak terkait lainnya, untuk ikut mendukung menyuarakan pembubaran Densus 88 tersebut.

Membongkar Cara Kerja Densus 88

Densus 88 telah melakukan apa saja yang mereka inginkan dan kemudian membuat cerita (dramatisasi) yang bisa membenarkan tindakan tersebut.


Maka tereksposnya video menjadi konfirmasi kebenaran cerita tindakan luar biasa biadabnya yang dilakukan oleh aparat. Dan sekali lagi ini menjadi starting point bagi semua pihak yang terkait untuk berani evaluasi kinerja Densus 88 selama ini. Tidak perlu menunggu sampai satu demi satu kedzaliman ini terpampang dihadapan publik secara telanjang. Sekecil apapun kedzaliman adalah kedzaliman yang harus disikapi sebagaimana mestinya. Bukan berusaha ditutupi dan dibela dengan berbagai cara dan upaya. Berikut sedikit contoh bagaimana arogansi dan kebiadaban sistemik yang dirancang Densu 88.


Kita bisa berangkat dari kasus terbunuhnya Abu Uswah (Asmar) dan Ahmad Kholil (Abu Kholid) di teras masjid Nurul Afiyah komplek RS Wahidin Sudirohusodo Makassar, Sulsel pada Jumat, 4 Januari 2013 lalu. Banyak bukti dan kesaksian yang mengendap, dua orang itu terbunuh tanpa ada perlawanan.


Kejadiannya cukup singkat, aparat Densus 88 begitu selesai eksekusi dua orang kemudian segera membersihkan jejak tindakan mereka. Darah yang menggenang di teras segara disiram bersih tanpa jejak, seluruh selongsong peluru di sekitar kejadian di pungut bersih termasuk proyektil yang tidak bersarang di tubuh korban. Intinya semua jejak berusaha dihilangkan.


Di hadapan publik pihak Humas Polri menyampaikan secara sepihak tentang sebab tewasnya dua orang tersebut, dengan cerita mereka melawan dan membahayakan bahkan di TKP ditemukan barang bukti berupa senjata (senpi).


Keterangan ini diaminkan oleh media tanpa ada informasi pembanding yang digali secara obyektif. Semua pernyataan aparat tidak pernah bisa di konfirmasi kebenarannya, kebenaran yang tersimpan di balik mulut-mulut saksi mata yang terkunci karena rasa takut tidak pernah digali dan terungkap ke publik.


Sementara pihak Densus 88 juga tidak pernah melakukan rekonstruksi ulang atas apa yang mereka lakukan. Inilah salah satu contohnya, dan masih banyak realitas serupa dalam kasus ekstra judicial killing oleh Densus 88 atas terduga “teroris”.


Ke depan kita akan melihat dan menunggu apa yang dihasilkan dari investigasi Komnas HAM atas pelanggaran HAM serius yang dilakukan aparat Densus 88. Dan waktu akan menjawab benarkah keadilan akan berpihak kepada Islam dan umatnya, atau akankah umat ini dibuat frustasi yang akhirnya mengambil jalan pintas sendiri-sendiri untuk menuntut keadilan yang menjadi haknya. Wallahu a’lam bisshawab.

Kompolnas : Terjadi Pelanggaran HAM Berat di Poso

Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menyimpulkan ada indikasi pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) berat yang dilakukan aparat kepolisian pada saat penanganan terduga teroris di Poso, Sulawesi Tenggara.

"Itu bentuk pelanggaran terhadap kemanusiaan dan melanggara norma-norma", kata anggota Komisioner Kepolisian Nasional, M. Nasser, kemarin di Jakarta. Dia menjelaskan, Komisi telah melakukan investigasi dan memeriksa Kepala Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror terkait dengn indikasi kekerasan tersebut.

Alhasil, disimpulkan pelaku kekerasan bukan anggota Densus, melainkan personel dari Brigade Mobil (Brimob). "Komisi mendesak pimpinan Polri agar menegakkan HAM dengan menegakkan hukum atas anggota Polri yang terlibat", tegasnya.

Video kekerasan polisi dalam menangani terduga teroris di Poso menyebar di media sosial YouTube. Video berdurasi 13 menit itu menggambarkan tindakan penganiayaan yang dilakukan oknum polisi berseragama Brimob dan lainnya yang mengenakan seragam mirip Densus.

Dalam tayangan tersebut, terlihat tiga warga dengan tangan terikat berbaring di tengah tanah lapang sambil bertalanjang dada. Seorang diantara mereka bernama Tugiran. Menit berikutnya, terlihat seorang warga dengan tangan terborgol berjalan menuju tanah lapang seorang diri, belakangan diketahui bernama Wiwin. Terdengar suara teriakan petugas agar membuka celana.

Sambil berjongkok, dia membuka celana. Gambar berikutnya, Wiwin sudah berdiri sambil berjalan, tapi tiba-tiba tersungkur. Dia terkena tembakan di dada tembus ke punggung. Dalam kondisi tertembak, dia dipaksa berjalan menuju ke tanah lapang. Meski Wiwin bersimbah darah, polisi tetap saja menginterogasinya dia tanpa berusaha menolongnya.

Komisioner Komisi Nasioinal HAM, Siane Indriani, menyatakan telah meminta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) melindungi dua suaksi kunci kasus kekerasan yang dilakukan oknum di Poso. Kedua saksi kunci tersebut beranama Wiwin Kalahe dan Tugiran. "Permohonan itu sebagai langkah preventif", ujarnya kemarin.

Juru bicara LPSK, Maharani Siti Sophia, menyatakan pihaknya akan segera melakukan pengecekan aksi di lokasi. Selanjutnya permintaan perlindungan akan diputuskan pada rapat lembaga.

Juru bicara Kepolisian RI, Brigadir Jenderal Boy Rafli Amar, mengatakan, video kekerasan aparat kepolisian yang beredar di YouTube tersebut terjadi di tahun 2007. "Tayangannya sudah dipelajari satu persatu. Hasil sementara dari tim Bareskrim yang mempelajari tayangan itu memang menunjukkan ada tampilan yang kami duga seorang tersangka ditangkap pada Januari 2007 di Poso", ujarnya.

Boy membenarkan bahwa salah seorang tersangka bernama Wiwin. Saat ini Wiwin sedang menjalani hukuman di Lembaga Permasyarakatan Palu.

Dia membenarkan soal adanya tindak kekerasan terhadap Wiwin seperti terlihat di video. "Tapi itu bagian dari penegakkan hukum saat itu", ucapnya. Meski demikian, kepolisian akan tetap mengusut dugaan pelanggaran hukum polisi seperti terlihat dalam tayangan video tersebut.

Kekerasan yang terjadi di Poso memperlihatkan kepolisian tidak dapat menjadi pelindung rakyat. Justeru melakukan tindakan yang sangat eksessif (berlebihan) terhadap mereka yang diduga sebagai teroris.

Dampak Video dan Pembubaran Densus 88, Logis?

Dalam beberapa bulan terakhir tuntutan pembubaran Densus 88 menggelinding seperti bola salju, makin membesar. Munculnya video kekerasan dan kedzaliman Densus 88 yang diunggah di berbagai jejaring sosial dan media online manambah “bola” makin besar. Selain video tersebut, sejatinya masih banyak data lapangan tentang ekstra judicial killing (pembunuhan diluar prosedur pengadilan) dan tindakan overacting oleh Densus 88.

Awalnya institusi Densus88 seperti benteng kokoh yang tidak tersentuh siapapun.Ibarat roda berputar, pada akhirnya menemukan titik baliknya. Menyeruaklah dorongan dari berbagai element sipil masyarakat untuk mengevaluasi kinerja Densus88 dan BNPT, bahkan muncul rekomendasi pembubaran.Disisi lain mucul perdebatan, soal perlunya tuntutan hukum kepada pihak yang menyebarkan video hingga persoalan dampak beredarnya video. Catatan berikut menghadirkan sebuah prespektif untuk mengeja persoalan tersebut.

Tentang Dampak Video

Pasca Video diunggah dan tersebar luas di masyarakat telah melahirkan kekhawatiran sebagian pihak tentang dampaknya.

Dikhawatirkan, pertama; video tersebut memicu keresahan masyarakat khususnya di wilayah Poso dan sekitarnya, mengingat isi video tempat kejadiannya ada di Poso. Bahkan membuka peluang menjadi provokasi terhadap kelompok bawah tanah (“teroris” versi Densus88) melakukan balas dendam dengan sasaran aparat kepolisian. Atau sebaliknya, kedua; dampaknya membuat pihak Densus88 dan BNPT meradang, dan memicu perlawanan dengan beragam cara berdasarkan kapasitasnya. Karena jelas, video tersebut membuat eksistensi Densus88 dan BNPT terpojok. Sebelum video beredar saja sudah banyak muncul opini dan pandangan kritis dari berbagai element terkait kinerja Densus88 yang dianggap arogan dan kerap melanggar HAM secara serius.

Untuk kekhawatiran pertama tidak ada data kuantitatif yang bisa dibeberkan, seberapa besar eskalasi keresahan masyarakat di wilayah tertentu seperti Poso.Mengingat tidak semua anggota masyarakat melek internet dan punya interest untuk menggali informasi tentang isu tertentu. Mungkin keresahan hanya bisa dibaca di kelompok kelas menengah atau tokoh masyarakat yang menjadi representasi mereka.Tapi ini tidak bisa didramatisir menjadi keresahan masyarakat luas.Keresahan itu betul adanya dilevel tertentu tapi tidak bisa diklaim terjadi si semua lini. Yang perlu dicatat, keresahan itu juga bernilai, tidak bisa dipandang sebelah mata dan semua tergantung sudut pandang bagaimana menangkap keresahan tersebut.

Di sini perlu kiranya sebuah penjelasan, video yang diunggah itu sama persisnya dengan video yang di bawa dan ditayangkan oleh tokoh umat Islam dan MUI dihadapan Kapolri Jendral Timur Pradopo beberapa waktu lalu. Langkah tokoh umat Islam dan MUI itu juga lahir dari keresahan yang cukup lama dipendam. Dan langkah yang diperankan mereka sudah tepat, menjembatani sebuah keresahan komunal yang “terbungkam” karena determinasi arogansi aparat Densus88 yang didukung media-media (TV,online, radio dan cetak).Sikap ini bisa dimaknai sebagai kecintaan masyarakat terhadap institusi Polri, wujudnya dengan menasehati dan memberikan kritik agar menjadi penegak hukum yang professional. Adil diatas semua warga negara, bukan bekerja diatas kepentingan politik tertentu baik kepentingan Asing maupun kepentingan opurtunis orang-orang lokal.

Langkah tokoh dan MUI adalah contoh sebuah sikap dewasa dan elegan untuk mengartikulasikan keresahan.Demikian juga, paska beredarnya video jika ada representasi masyarakat di wilayah Poso dan sekitarnya merasa resah dan marah itu juga wajar dan harus ditangkap sebagai sebuah sikap yang harus di respon secara bijak oleh pihak terkait. Terlalu prejudice kalau secara implisit menuduh keresahan para tokoh (representasi) masyarakat akan memicu tindakan radikal fisik masyarakat atau sebagian dari mereka.Mereka (representator) posisinya sebagai follower atas realitas (video) yang baru mereka cerap.Berbeda tipis dengan tokoh umat dan MUI yang memegang dokumen video tersebut dan meyampaikan kepada Kapolri.

Dan sangat naïf, jika sebagian pihak atau aparat justru sibuk bernafsu mempersoalkan siapa penggungah video tersebut. Jika ini dilakukan, sama artinya mengalihkan persoalan utama yakni fakta pelanggaran HAM oleh aparat kepolisian.Harusnya terima kasih, dengan video itu pihak aparat bisa mengaca wajahnya sebagai aparat penegak hukum. Dan menjadi entry point melakukan pembersihan dari oknum yang merusak institusi dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi aparat kepolisian.Semua aparat bekerja di gaji dari uang rakyat, sangat naïf jika mereka apriori tidak mau mendengar kritik dan masukan konstruktif dengan beragam cara. Bukankah banyak contoh, terunggahnya video diruang publik yang berisi tindakan menyimpang dari oknum aparat kemudian berdampak positif (bahan evaluasi) kepada institusi dari oknum aparat dan juga lahirnya rasa keadilan masyarakat.Sekali lagi ini semua tergantung sudut pandang, pilihannya sikap konstruktif atau sentiment-egoisme institusi.

Tentang kemungkinan balas dendam kelompok bawah tanah ini juga sebatas dugaan atau asumsi yang tidak pasti.Kalau melihat sikon terakhir paska penangkapan banyak orang di berbagai tempat dengan tuduhan “terorisme”, sejatinya jumlah kelompok ini menyusut drastis. Bahkan untuk diwilayah tertentu seperti Poso dengan operasi Maleo –1 dan dilanjutkan Maleo-2 untuk memulihkan keemanan dan perburuan dengan daftar yang berisi 24 DPO menjadikan ruang gerak kelompok tertuduh “terorisme” makin sempit. Kekuatan menjadi tidak signifikan untuk melakukan aksi-kasi balas dendam seperti yang dikhawatirkan.Cerita yang diriwayatkan dari mulut kemulut tentang tindakan sadis aparat Densus ketika menangkap tertuduh “teroris” menjadi barang yang jamak diketahui banyak orang khususnya kelompok-kelompok yang jadi sasaran Densus88. Jadi isi video yang diunggah itu bagi mereka hanya menjadi konfirmasi kebenaran cerita dari mulut kemulut tersebut.Jadi naïf juga, jika berasumsi gara-gara video yang diunggah serta merta menjadi stimulant balas dendam.

Tentang dampak kedua, kita perlu berimbang mencermati.Kritikan yang datang silih berganti telah memposisikan Densus88 dan lembaga baru (BNPT) terpojokkan. Tuntutan pembubaran Densus88 jika direalisasikan dianggap akan melahirkan dampak politis serius.Hal ini bisa dipahami, karena kelahiran Densus88 dari sebuah kontek dinamika politik keamanan dilevel global dan domestic. Sebuah institusi yang lahir ditopang kondisi politik keamanan yang “memaksa” dan sarat dengan kepentingan politik global (asing). Karena itu “Egoisme” institusi meniscayakan lahirnya langkah deffensif-offensif. Bahkan demi eksistensi institusi meniscayakan lahirnya beragam strategi, mulai dari cara yang soft (lunak) sampai cara-cara yang culas (operasi intelijen gelap). Bukan tidak mungkin Densus88 atau BNPT melakukan personal approach kepada tokoh-tokoh tertentu agar mereka bisa menjadi “juru bicara” kepentingan Densus88. Atau langkah itu juga disasarkan kepada politisi Senayan, agar mereka bisa memberikan second opini dengan target menjaga eksistensi Densus88. Yang tidak boleh diabaikan juga, keniscayaan munculnya peristiwa “rusuh” atau accident seperti bom sebagai produk operasi intelijen gelap dengan target kehadiran Densus88 kembali di butuhkan dan melegitimasi keberadaannya perlu dipertahankan. Disamping hal diatas, komunikasi dihadapan publik oleh pihak aparat kepolisian dengan bangunan argumentasi yang terkesan “logis” terus akan di lakukan dengan dukungan media.Termasuk upaya kooptasi media juga niscaya dilakukan agar bisa mereduksi tuntutan pembubaran Densus88.

Terlepas dari itu, video yang tersebar atau yang di putar dihadapan Kapolri sesungguhnya hanya sebagian dari konten tentang episode membangun keadilan yang beradab.Dalam isu terorisme, umat Islamlah yang bersentuhan langsung dengan beragam “drama” terorisme yang ditayangkan secara vulgar dan tendensius oleh media TV.Sepuluh tahun proyek perang melawan teroris sudah berjalan, namun dari hari kehari semakin “aneh” dan terlihat kabur orentasinya. Justru yang dirasakan dan dilihat oleh umat Islam adalah ketidakadilan dan kedzaliman atas nama war on terrorism.Hari ini umat Islam makin melek politik, dan kesadaran politik telah mendorong untuk bicara dan bersuara dengan sagala kapasitasnya. Aneh rasanya, kalau sebuah kedzaliman yang dilakukan aparat penegak hukum mendapatkan kritik malah berbuah respon balik yang tidak proporsional. Bahkan mencari kambing hitam dan melupakan akar persoalan. Contoh,ada pihak yang menuduh karena media-media Islam radikallah yang menjadikan isu ini mencuat dan menggelinding bak bola salju.Tapi mereka tidak mau jujur dan obyektif memahami kenapa isu pembubaran Densus88 menyeruak serta memahami akar masalah secara holistik terkait isu terorisme dan upaya kontra-terorisme yang diemban oleh Densus88 dan BNPT.

Bubarnya Densus 88, Logis?

Harus di akui bukan persoalan mudah untuk menghadirkan data pembanding sebagai langkah advokasi atas kedzaliman Densus 88 dihadapan pihak-pihak terkait.Kenapa demikian, satu contoh saja kita bisa berangkat dari kasus terbunuhnya Abu Uswah (Asmar) dan Kholil (Kholid) di teras masjid Nurul Afiyah komplek RS Wahidin Makassar-Sulsel (Jumat, 4 Januari 2013) lalu. Banyak bukti dan kesaksian yang mengendap, dua orang terbunuh tanpa ada perlawanan. Kejadian cukup singkat, aparat Densus 88 begitu selesai eksekusi dua orang kemudian segera membersihkan jejak tindakan mereka. Darah yang menggenang di teras segara di siram bersih tanpa jejak, seluruh selongsong peluru disekitar kejadian di pungut bersih termasuk proyektil yang tidak bersarang di tubuh korban.Semua jejak berusaha dihilangkan.Namun di hadapan publik pihak Humas Polri menyampaikan secara sepihak tentang sebab tewasnya dua orang tersebut, dengan cerita mereka melawan dan membahayakan bahkan di TKP ditemukan barang bukti berupa senjata (senpi).Keterangan ini diaminkan oleh media tanpa ada informasi pembanding yang di gali secara obyektif.Semua pernyataan aparat tidak pernah bisa di konfirmasi kebenarannya, kebenaran yang tersimpan di balik mulut-mulut saksi mata yang terkunci karena rasa takut tidak pernah di gali dan terungkap kepublik.Dan pihak Densus88 juga tidak pernah melakukan rekonstruksi ulang atas apa yang mereka lakukan.Densus 88 melakukan apa yang mereka inginkan dan kemudian membuat cerita (dramatisasi) yang bisa membenarkan tindakan tersebut. Inilah salah satu contohnya, dan masih banyak realitas serupa dalam kasus ekstra judicial killing oleh Densus 88 atas terduga “teroris”.

Maka tereksposnya video menjadi konfirmasi kebenaran cerita tindakan luar biasa biadabnya yang dilakukan oleh aparat.Dan sekali lagi ini menjadi starting point bagi semua pihak yang terkait untuk berani evaluasi kinerja Densus 88 selama ini.Dan ini sangat logis, tidak perlu menunggu sampai satu demi satu kedzaliman ini terpampang dihadapan publik secara telanjang.Sekecil apapun kedzaliman adalah kedzaliman yang harus disikapi sebagaimana mestinya. Bukan berusaha ditutupi dan dibela dengan berbagai cara dan upaya. Apakah jika evaluasi dilakukan itu bisa berujung kepada pembubaran Densus88? Kita harus obyektif juga, ada faktor kendala yang perlu di pahami.

Beberapa faktor atau kendala tersebut, pertama;kendala ideologis, artinya perang melawan terorisme di Indonesia berdiri diatas paradigma (ideologi) yang tendensius terhadap Islam dan umatnya.Para pengemban kontra-terorisme berdiri diatas mindset yang sentiment terhadap Islam ideologis dan pengusungnya. Karenanya orentasi perang melawan terorisme kehilangan arah dan tidak murni sebuah perang melawan terorisme.Namun mindset ini terus berusaha dipertahankan oleh pihak-pihak yang phobi Islam. Kedua; kendala institusional, artinya seolah-olah jika tidak ada Densus88 maka Indonesia tidak mampu menghadapi terorisme. Ini terkesan klise, tanpa memahami akar masalah dan konteks lahirnya “terorisme”.Polri masih punya Brimob dengan unit Gegananya, Densus 88 bisa saja kalau perlu dilikuidasi dan di masukkan dalam unit-unit regular Polri yang sudah ada. Bisa masuk di Brimob, serse, reskrim atau lainya. Di awal kehadiranhya wajar untuk di apresiasi karena dianggap berhasil tuntaskan kasus bom Bali dan JW Mariot, tapi kedepannya kehadirannya tidak lagi relevan. Karena persoalan intinya, terorisme adalah hanya propaganda dan “bayang-bayang” spiral kekerasan akibat dari treatment Densus 88 dilapangan yang kurang professional.Selama ini tidak ada mekanisme yang bisa kontrol langkah Densus88, bahkan Kompolnas juga mandul terhadap Densus88.

Ketiga; kendala politik dan regulasi, artinya Indonesia sudah terlalu dalam terjebak dalam proyek global melawan terorisme ala Amerika Serikat dan sekutunya. Indonesia sudah meratifikasi banyak resolusi PBB dan politikus di Senayan juga mengakomodir dalam wujud lahirnya beragam undang-undang yang menjaga kontinuitas kepentingan politik global Amerika Serikat (dari UU Terorisme sampai yang terakhir UU terkait pendanaan Terorisme).Bahkan pemerintah Indonesia melembagakan proyek kontra-terorisme ini dengan dibentuk BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). Hibah dana dan peralatan serta kapasitas building bagi aparat Densus 88 dan BNPT diberikan oleh negara-negara Barat. Pusat pelatihan juga di resmikan (seperti yang di belakang Akpol Semarang).Tentu ini menjadi persoalan yang tidak mudah kecuali top leader dari negara ini punya sikap politik yang independen dan bersanding dengan kepentingan rakyatnya. Realitanya, penguasa berdiri di satu sisi dan rakyat (umat Islam) berdiri disisi yang lain.

Keempat; kendala sosiologis, ini terkait munculnya polarisasi ditengah umat Islam. Terminologi Islam moderat-Islam fundamentalis, Islam liberal-Islam radikal sebagai contoh tolak ukur lahirnya polarisasi. Sejatinya kondisi sosiologis umat Islam seperti itu juga karena ada kontribusi desain para pengemban kontra-terorisme yang hendak menciptakan musuh bersama terhadap kelompok Islam yang di cap radikal-fundamentalis. Karena paradigmanya, ideologi radikal dan kelompok pengusungnya adalah hulu dari terorisme.Tentu ini masalah tersendiri, seperti halnya hari ini ada sebagian tokoh umat yang membeo membela mati-matian kerja BNPT (karena sebab imbalan maslahat), dan ada sebagian tokoh umat yang masih hanif (bersih) malakukan muhasabah (koreksi) atas tiap kedzaliman dan ketidak adilan yang menimpa umat Islam.

Oleh karena itu, pola-pola advokasi yang harus dilakukan oleh element umat Islam harus terukur dan stretegis sesuai dengan posisi dan kapasitas masing-masing. Namun yang paling penting dalam realitas politik segalanya serba mungkin terjadi, berapa dan apapun faktor kendalanya. Sebuah lidi tidak akan memiliki kekuatan berarti, tapi segenggam lidi yang terikat akan jauh lebih kuat. Artinya jalinan komunikasi dan kordinasi serta menyamakan sebuah visi dengan beragam teknik harus dilakukan.

Karena “kebenaran yang tidak terorganisir akan kalah oleh kebatilan yang terorganisir”. Sementara menggugat keberadaan Densus 88 itu berarti menggungat dominasi dan hegemoni politik negara teroris Amerika atas Indonesia dengan bendera Global War on Terrorism (GWOT).

Bukan sekedar persoalan regulasi yang jadi payung Densus88 dan BNPT, juga bukan sekedar menggugat dan menasehati politisi senayan yang mengaminkan kepentingan Asing dengan cara mengakomodir dalam tiap produk Undang-undang.

Dan bukan sekedar menuntut seorang Kapolri untuk bubarkan Densus88, atau bahkan menuntut oknum-oknum jendral Polri yang tangannya berdarah-darah dalam kasus terorisme ini (seperti Goris Mere, Suryadarma, Petrus Golose, Ansyad Mbai etc).Tapi juga menuntut sikap adil seorang Presiden RI, apakah ia akan bijak mengapresiasi keresahan umat Islam atau sebaliknya; makin loyal kepada kepentingan asing hanya karena imbalan kemaslahatan dunia tapi melupakan besarnya tanggungjawab kelak di akhirat.

Diluar itu semua, kedepan kita akan melihat dan menunggu apa yang dihasilkan dari investigasi Komnas HAM atas pelanggaran HAM serius yang dilakukan aparat Densus 88. Dan waktu akan menjawab benarkah keadilan akan berpihak kepada Islam dan umatnya, atau akankah umat ini dibuat frustasi yang akhirnya mengambil jalan pintas sendiri-sendiri untuk menuntut keadilan yang menjadi haknya. Wallahu a’lam bisshowab[]