Thursday 7 March 2013

Dampak Video dan Pembubaran Densus 88, Logis?

Dalam beberapa bulan terakhir tuntutan pembubaran Densus 88 menggelinding seperti bola salju, makin membesar. Munculnya video kekerasan dan kedzaliman Densus 88 yang diunggah di berbagai jejaring sosial dan media online manambah “bola” makin besar. Selain video tersebut, sejatinya masih banyak data lapangan tentang ekstra judicial killing (pembunuhan diluar prosedur pengadilan) dan tindakan overacting oleh Densus 88.

Awalnya institusi Densus88 seperti benteng kokoh yang tidak tersentuh siapapun.Ibarat roda berputar, pada akhirnya menemukan titik baliknya. Menyeruaklah dorongan dari berbagai element sipil masyarakat untuk mengevaluasi kinerja Densus88 dan BNPT, bahkan muncul rekomendasi pembubaran.Disisi lain mucul perdebatan, soal perlunya tuntutan hukum kepada pihak yang menyebarkan video hingga persoalan dampak beredarnya video. Catatan berikut menghadirkan sebuah prespektif untuk mengeja persoalan tersebut.

Tentang Dampak Video

Pasca Video diunggah dan tersebar luas di masyarakat telah melahirkan kekhawatiran sebagian pihak tentang dampaknya.

Dikhawatirkan, pertama; video tersebut memicu keresahan masyarakat khususnya di wilayah Poso dan sekitarnya, mengingat isi video tempat kejadiannya ada di Poso. Bahkan membuka peluang menjadi provokasi terhadap kelompok bawah tanah (“teroris” versi Densus88) melakukan balas dendam dengan sasaran aparat kepolisian. Atau sebaliknya, kedua; dampaknya membuat pihak Densus88 dan BNPT meradang, dan memicu perlawanan dengan beragam cara berdasarkan kapasitasnya. Karena jelas, video tersebut membuat eksistensi Densus88 dan BNPT terpojok. Sebelum video beredar saja sudah banyak muncul opini dan pandangan kritis dari berbagai element terkait kinerja Densus88 yang dianggap arogan dan kerap melanggar HAM secara serius.

Untuk kekhawatiran pertama tidak ada data kuantitatif yang bisa dibeberkan, seberapa besar eskalasi keresahan masyarakat di wilayah tertentu seperti Poso.Mengingat tidak semua anggota masyarakat melek internet dan punya interest untuk menggali informasi tentang isu tertentu. Mungkin keresahan hanya bisa dibaca di kelompok kelas menengah atau tokoh masyarakat yang menjadi representasi mereka.Tapi ini tidak bisa didramatisir menjadi keresahan masyarakat luas.Keresahan itu betul adanya dilevel tertentu tapi tidak bisa diklaim terjadi si semua lini. Yang perlu dicatat, keresahan itu juga bernilai, tidak bisa dipandang sebelah mata dan semua tergantung sudut pandang bagaimana menangkap keresahan tersebut.

Di sini perlu kiranya sebuah penjelasan, video yang diunggah itu sama persisnya dengan video yang di bawa dan ditayangkan oleh tokoh umat Islam dan MUI dihadapan Kapolri Jendral Timur Pradopo beberapa waktu lalu. Langkah tokoh umat Islam dan MUI itu juga lahir dari keresahan yang cukup lama dipendam. Dan langkah yang diperankan mereka sudah tepat, menjembatani sebuah keresahan komunal yang “terbungkam” karena determinasi arogansi aparat Densus88 yang didukung media-media (TV,online, radio dan cetak).Sikap ini bisa dimaknai sebagai kecintaan masyarakat terhadap institusi Polri, wujudnya dengan menasehati dan memberikan kritik agar menjadi penegak hukum yang professional. Adil diatas semua warga negara, bukan bekerja diatas kepentingan politik tertentu baik kepentingan Asing maupun kepentingan opurtunis orang-orang lokal.

Langkah tokoh dan MUI adalah contoh sebuah sikap dewasa dan elegan untuk mengartikulasikan keresahan.Demikian juga, paska beredarnya video jika ada representasi masyarakat di wilayah Poso dan sekitarnya merasa resah dan marah itu juga wajar dan harus ditangkap sebagai sebuah sikap yang harus di respon secara bijak oleh pihak terkait. Terlalu prejudice kalau secara implisit menuduh keresahan para tokoh (representasi) masyarakat akan memicu tindakan radikal fisik masyarakat atau sebagian dari mereka.Mereka (representator) posisinya sebagai follower atas realitas (video) yang baru mereka cerap.Berbeda tipis dengan tokoh umat dan MUI yang memegang dokumen video tersebut dan meyampaikan kepada Kapolri.

Dan sangat naïf, jika sebagian pihak atau aparat justru sibuk bernafsu mempersoalkan siapa penggungah video tersebut. Jika ini dilakukan, sama artinya mengalihkan persoalan utama yakni fakta pelanggaran HAM oleh aparat kepolisian.Harusnya terima kasih, dengan video itu pihak aparat bisa mengaca wajahnya sebagai aparat penegak hukum. Dan menjadi entry point melakukan pembersihan dari oknum yang merusak institusi dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi aparat kepolisian.Semua aparat bekerja di gaji dari uang rakyat, sangat naïf jika mereka apriori tidak mau mendengar kritik dan masukan konstruktif dengan beragam cara. Bukankah banyak contoh, terunggahnya video diruang publik yang berisi tindakan menyimpang dari oknum aparat kemudian berdampak positif (bahan evaluasi) kepada institusi dari oknum aparat dan juga lahirnya rasa keadilan masyarakat.Sekali lagi ini semua tergantung sudut pandang, pilihannya sikap konstruktif atau sentiment-egoisme institusi.

Tentang kemungkinan balas dendam kelompok bawah tanah ini juga sebatas dugaan atau asumsi yang tidak pasti.Kalau melihat sikon terakhir paska penangkapan banyak orang di berbagai tempat dengan tuduhan “terorisme”, sejatinya jumlah kelompok ini menyusut drastis. Bahkan untuk diwilayah tertentu seperti Poso dengan operasi Maleo –1 dan dilanjutkan Maleo-2 untuk memulihkan keemanan dan perburuan dengan daftar yang berisi 24 DPO menjadikan ruang gerak kelompok tertuduh “terorisme” makin sempit. Kekuatan menjadi tidak signifikan untuk melakukan aksi-kasi balas dendam seperti yang dikhawatirkan.Cerita yang diriwayatkan dari mulut kemulut tentang tindakan sadis aparat Densus ketika menangkap tertuduh “teroris” menjadi barang yang jamak diketahui banyak orang khususnya kelompok-kelompok yang jadi sasaran Densus88. Jadi isi video yang diunggah itu bagi mereka hanya menjadi konfirmasi kebenaran cerita dari mulut kemulut tersebut.Jadi naïf juga, jika berasumsi gara-gara video yang diunggah serta merta menjadi stimulant balas dendam.

Tentang dampak kedua, kita perlu berimbang mencermati.Kritikan yang datang silih berganti telah memposisikan Densus88 dan lembaga baru (BNPT) terpojokkan. Tuntutan pembubaran Densus88 jika direalisasikan dianggap akan melahirkan dampak politis serius.Hal ini bisa dipahami, karena kelahiran Densus88 dari sebuah kontek dinamika politik keamanan dilevel global dan domestic. Sebuah institusi yang lahir ditopang kondisi politik keamanan yang “memaksa” dan sarat dengan kepentingan politik global (asing). Karena itu “Egoisme” institusi meniscayakan lahirnya langkah deffensif-offensif. Bahkan demi eksistensi institusi meniscayakan lahirnya beragam strategi, mulai dari cara yang soft (lunak) sampai cara-cara yang culas (operasi intelijen gelap). Bukan tidak mungkin Densus88 atau BNPT melakukan personal approach kepada tokoh-tokoh tertentu agar mereka bisa menjadi “juru bicara” kepentingan Densus88. Atau langkah itu juga disasarkan kepada politisi Senayan, agar mereka bisa memberikan second opini dengan target menjaga eksistensi Densus88. Yang tidak boleh diabaikan juga, keniscayaan munculnya peristiwa “rusuh” atau accident seperti bom sebagai produk operasi intelijen gelap dengan target kehadiran Densus88 kembali di butuhkan dan melegitimasi keberadaannya perlu dipertahankan. Disamping hal diatas, komunikasi dihadapan publik oleh pihak aparat kepolisian dengan bangunan argumentasi yang terkesan “logis” terus akan di lakukan dengan dukungan media.Termasuk upaya kooptasi media juga niscaya dilakukan agar bisa mereduksi tuntutan pembubaran Densus88.

Terlepas dari itu, video yang tersebar atau yang di putar dihadapan Kapolri sesungguhnya hanya sebagian dari konten tentang episode membangun keadilan yang beradab.Dalam isu terorisme, umat Islamlah yang bersentuhan langsung dengan beragam “drama” terorisme yang ditayangkan secara vulgar dan tendensius oleh media TV.Sepuluh tahun proyek perang melawan teroris sudah berjalan, namun dari hari kehari semakin “aneh” dan terlihat kabur orentasinya. Justru yang dirasakan dan dilihat oleh umat Islam adalah ketidakadilan dan kedzaliman atas nama war on terrorism.Hari ini umat Islam makin melek politik, dan kesadaran politik telah mendorong untuk bicara dan bersuara dengan sagala kapasitasnya. Aneh rasanya, kalau sebuah kedzaliman yang dilakukan aparat penegak hukum mendapatkan kritik malah berbuah respon balik yang tidak proporsional. Bahkan mencari kambing hitam dan melupakan akar persoalan. Contoh,ada pihak yang menuduh karena media-media Islam radikallah yang menjadikan isu ini mencuat dan menggelinding bak bola salju.Tapi mereka tidak mau jujur dan obyektif memahami kenapa isu pembubaran Densus88 menyeruak serta memahami akar masalah secara holistik terkait isu terorisme dan upaya kontra-terorisme yang diemban oleh Densus88 dan BNPT.

Bubarnya Densus 88, Logis?

Harus di akui bukan persoalan mudah untuk menghadirkan data pembanding sebagai langkah advokasi atas kedzaliman Densus 88 dihadapan pihak-pihak terkait.Kenapa demikian, satu contoh saja kita bisa berangkat dari kasus terbunuhnya Abu Uswah (Asmar) dan Kholil (Kholid) di teras masjid Nurul Afiyah komplek RS Wahidin Makassar-Sulsel (Jumat, 4 Januari 2013) lalu. Banyak bukti dan kesaksian yang mengendap, dua orang terbunuh tanpa ada perlawanan. Kejadian cukup singkat, aparat Densus 88 begitu selesai eksekusi dua orang kemudian segera membersihkan jejak tindakan mereka. Darah yang menggenang di teras segara di siram bersih tanpa jejak, seluruh selongsong peluru disekitar kejadian di pungut bersih termasuk proyektil yang tidak bersarang di tubuh korban.Semua jejak berusaha dihilangkan.Namun di hadapan publik pihak Humas Polri menyampaikan secara sepihak tentang sebab tewasnya dua orang tersebut, dengan cerita mereka melawan dan membahayakan bahkan di TKP ditemukan barang bukti berupa senjata (senpi).Keterangan ini diaminkan oleh media tanpa ada informasi pembanding yang di gali secara obyektif.Semua pernyataan aparat tidak pernah bisa di konfirmasi kebenarannya, kebenaran yang tersimpan di balik mulut-mulut saksi mata yang terkunci karena rasa takut tidak pernah di gali dan terungkap kepublik.Dan pihak Densus88 juga tidak pernah melakukan rekonstruksi ulang atas apa yang mereka lakukan.Densus 88 melakukan apa yang mereka inginkan dan kemudian membuat cerita (dramatisasi) yang bisa membenarkan tindakan tersebut. Inilah salah satu contohnya, dan masih banyak realitas serupa dalam kasus ekstra judicial killing oleh Densus 88 atas terduga “teroris”.

Maka tereksposnya video menjadi konfirmasi kebenaran cerita tindakan luar biasa biadabnya yang dilakukan oleh aparat.Dan sekali lagi ini menjadi starting point bagi semua pihak yang terkait untuk berani evaluasi kinerja Densus 88 selama ini.Dan ini sangat logis, tidak perlu menunggu sampai satu demi satu kedzaliman ini terpampang dihadapan publik secara telanjang.Sekecil apapun kedzaliman adalah kedzaliman yang harus disikapi sebagaimana mestinya. Bukan berusaha ditutupi dan dibela dengan berbagai cara dan upaya. Apakah jika evaluasi dilakukan itu bisa berujung kepada pembubaran Densus88? Kita harus obyektif juga, ada faktor kendala yang perlu di pahami.

Beberapa faktor atau kendala tersebut, pertama;kendala ideologis, artinya perang melawan terorisme di Indonesia berdiri diatas paradigma (ideologi) yang tendensius terhadap Islam dan umatnya.Para pengemban kontra-terorisme berdiri diatas mindset yang sentiment terhadap Islam ideologis dan pengusungnya. Karenanya orentasi perang melawan terorisme kehilangan arah dan tidak murni sebuah perang melawan terorisme.Namun mindset ini terus berusaha dipertahankan oleh pihak-pihak yang phobi Islam. Kedua; kendala institusional, artinya seolah-olah jika tidak ada Densus88 maka Indonesia tidak mampu menghadapi terorisme. Ini terkesan klise, tanpa memahami akar masalah dan konteks lahirnya “terorisme”.Polri masih punya Brimob dengan unit Gegananya, Densus 88 bisa saja kalau perlu dilikuidasi dan di masukkan dalam unit-unit regular Polri yang sudah ada. Bisa masuk di Brimob, serse, reskrim atau lainya. Di awal kehadiranhya wajar untuk di apresiasi karena dianggap berhasil tuntaskan kasus bom Bali dan JW Mariot, tapi kedepannya kehadirannya tidak lagi relevan. Karena persoalan intinya, terorisme adalah hanya propaganda dan “bayang-bayang” spiral kekerasan akibat dari treatment Densus 88 dilapangan yang kurang professional.Selama ini tidak ada mekanisme yang bisa kontrol langkah Densus88, bahkan Kompolnas juga mandul terhadap Densus88.

Ketiga; kendala politik dan regulasi, artinya Indonesia sudah terlalu dalam terjebak dalam proyek global melawan terorisme ala Amerika Serikat dan sekutunya. Indonesia sudah meratifikasi banyak resolusi PBB dan politikus di Senayan juga mengakomodir dalam wujud lahirnya beragam undang-undang yang menjaga kontinuitas kepentingan politik global Amerika Serikat (dari UU Terorisme sampai yang terakhir UU terkait pendanaan Terorisme).Bahkan pemerintah Indonesia melembagakan proyek kontra-terorisme ini dengan dibentuk BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). Hibah dana dan peralatan serta kapasitas building bagi aparat Densus 88 dan BNPT diberikan oleh negara-negara Barat. Pusat pelatihan juga di resmikan (seperti yang di belakang Akpol Semarang).Tentu ini menjadi persoalan yang tidak mudah kecuali top leader dari negara ini punya sikap politik yang independen dan bersanding dengan kepentingan rakyatnya. Realitanya, penguasa berdiri di satu sisi dan rakyat (umat Islam) berdiri disisi yang lain.

Keempat; kendala sosiologis, ini terkait munculnya polarisasi ditengah umat Islam. Terminologi Islam moderat-Islam fundamentalis, Islam liberal-Islam radikal sebagai contoh tolak ukur lahirnya polarisasi. Sejatinya kondisi sosiologis umat Islam seperti itu juga karena ada kontribusi desain para pengemban kontra-terorisme yang hendak menciptakan musuh bersama terhadap kelompok Islam yang di cap radikal-fundamentalis. Karena paradigmanya, ideologi radikal dan kelompok pengusungnya adalah hulu dari terorisme.Tentu ini masalah tersendiri, seperti halnya hari ini ada sebagian tokoh umat yang membeo membela mati-matian kerja BNPT (karena sebab imbalan maslahat), dan ada sebagian tokoh umat yang masih hanif (bersih) malakukan muhasabah (koreksi) atas tiap kedzaliman dan ketidak adilan yang menimpa umat Islam.

Oleh karena itu, pola-pola advokasi yang harus dilakukan oleh element umat Islam harus terukur dan stretegis sesuai dengan posisi dan kapasitas masing-masing. Namun yang paling penting dalam realitas politik segalanya serba mungkin terjadi, berapa dan apapun faktor kendalanya. Sebuah lidi tidak akan memiliki kekuatan berarti, tapi segenggam lidi yang terikat akan jauh lebih kuat. Artinya jalinan komunikasi dan kordinasi serta menyamakan sebuah visi dengan beragam teknik harus dilakukan.

Karena “kebenaran yang tidak terorganisir akan kalah oleh kebatilan yang terorganisir”. Sementara menggugat keberadaan Densus 88 itu berarti menggungat dominasi dan hegemoni politik negara teroris Amerika atas Indonesia dengan bendera Global War on Terrorism (GWOT).

Bukan sekedar persoalan regulasi yang jadi payung Densus88 dan BNPT, juga bukan sekedar menggugat dan menasehati politisi senayan yang mengaminkan kepentingan Asing dengan cara mengakomodir dalam tiap produk Undang-undang.

Dan bukan sekedar menuntut seorang Kapolri untuk bubarkan Densus88, atau bahkan menuntut oknum-oknum jendral Polri yang tangannya berdarah-darah dalam kasus terorisme ini (seperti Goris Mere, Suryadarma, Petrus Golose, Ansyad Mbai etc).Tapi juga menuntut sikap adil seorang Presiden RI, apakah ia akan bijak mengapresiasi keresahan umat Islam atau sebaliknya; makin loyal kepada kepentingan asing hanya karena imbalan kemaslahatan dunia tapi melupakan besarnya tanggungjawab kelak di akhirat.

Diluar itu semua, kedepan kita akan melihat dan menunggu apa yang dihasilkan dari investigasi Komnas HAM atas pelanggaran HAM serius yang dilakukan aparat Densus 88. Dan waktu akan menjawab benarkah keadilan akan berpihak kepada Islam dan umatnya, atau akankah umat ini dibuat frustasi yang akhirnya mengambil jalan pintas sendiri-sendiri untuk menuntut keadilan yang menjadi haknya. Wallahu a’lam bisshowab[]

No comments:

Post a Comment